zmedia

Benarkah Makan Bergizi Gratis Meningkatkan Kecerdasan Anak atau Hanya Janji Politik?

Muhammad Dzunnurain, Founder Newsroom Citizen Community
HARIANCENDEKIAOPINI Program makan bergizi gratis yang telah diluncurkan pemerintah pada 6 Januari 2025 telah menjadi sorotan publik. Program ini dirancang untuk meningkatkan gizi anak-anak di berbagai wilayah, terutama daerah tertinggal, terpencil, dan terluar (3T). Dengan target 3 juta penerima manfaat tahap awal, pemerintah berharap program ini dapat mengatasi masalah stunting, mendorong kualitas pendidikan, dan mengurangi ketimpangan sosial. Namun, di balik ambisi besar ini, muncul kritik yang mempertanyakan efektivitas dan keberlanjutan program, serta potensi politisasi yang mengiringinya.

Secara teori, program makan bergizi di sekolah memiliki manfaat yang signifikan. Anak-anak yang mendapatkan asupan makanan bergizi lebih cenderung sehat, aktif, dan memiliki kemampuan belajar yang lebih baik. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan angka putus sekolah, terutama di kalangan keluarga miskin, karena makan bergizi gratis menjadi insentif bagi orang tua untuk terus menyekolahkan anak mereka. Selain itu, program ini juga berdampak pada ekonomi lokal, karena bahan baku makanan diupayakan berasal dari petani dan peternak setempat. Dengan ini, pemberian makan gratis tidak hanya berfungsi sebagai solusi gizi, tetapi juga sebagai penggerak ekonomi lokal.

Namun, keberhasilan program ini menghadapi tantangan besar. Salah satu masalah utama adalah distribusi logistik yang rumit, terutama di wilayah terpencil yang sulit dijangkau. Selain itu, menu yang disajikan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan gizi anak atau preferensi budaya lokal, sehingga menimbulkan ketidakpuasan. Bahkan, beberapa laporan mengungkapkan bahwa makanan yang disediakan tidak memenuhi standar gizi yang dijanjikan. Hal ini menimbulkan keraguan apakah program ini benar-benar efektif meningkatkan kesehatan dan kecerdasan anak, atau sekadar menjadi langkah simbolis untuk memenuhi janji politik.

Dari sisi anggaran, program ini juga menjadi beban berat bagi keuangan negara. Dengan biaya mencapai 2% dari Produk Domestik Bruto setiap tahunnya, banyak pihak mempertanyakan bagaimana program ini akan dibiayai tanpa mengorbankan sektor lain. Wacana penggunaan Dana BOS atau Dana Desa, misalnya, telah menuai kritik keras. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan justru terancam dialihkan untuk program makan gratis. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat upaya perbaikan infrastruktur sekolah dan kesejahteraan guru, yang sejatinya merupakan elemen kunci dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

Selain itu, risiko penyimpangan dalam pelaksanaan program ini juga cukup besar. Dari pendataan penerima manfaat hingga proses pengadaan bahan makanan, banyak celah yang dapat dimanfaatkan untuk korupsi. Tanpa pengawasan yang ketat, program ini berpotensi menjadi ladang baru bagi praktik-praktik tidak bertanggung jawab.

Di tingkat lokal, pengadaan bahan makanan yang tidak sesuai standar gizi juga dapat merusak tujuan utama program. Bahkan, ketergantungan pada impor bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan ini dapat melemahkan ketahanan pangan nasional.

Pada akhirnya, keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada perencanaan yang matang dan pelaksanaan yang efektif. Tanpa itu, program makan bergizi gratis hanya akan menjadi janji politik kosong yang menguras anggaran tanpa memberikan dampak berarti.

Oleh karena itu, pemerintah harus menjawab kritik ini dengan tindakan nyata, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak, tetapi juga untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan membawa manfaat yang signifikan bagi bangsa.

*) Penulis : Muhammad Dzunnurain, Founder Newsroom Citizen Community.
*) Seluruh isi berita, artikel, opini sepenuhnya tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi.
**) Dapatkan akses informasi HARIAN CENDEKIA lebih mudah dan cepat di Saluran WhatsApp dan Instagram, jangan lupa di follow.