![]() |
(Doc. AI) Ilustrasi PMII Jatim |
Tiga petarung perempuan maju dalam kontestasi pemilihan Ketua KOPRI PKC PMII Jawa Timur: Elza Nikma Yunita, Kholisatul Hasanah, dan Novikha Istyana. Namun, yang menarik bukan siapa yang maju, melainkan siapa yang berdiri di belakang mereka (mastermind). Elza didukung penuh oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PB PMII, M. Irkham Thamrin. Elza dan Irkham berasal dari komisariat dan cabang yang sama, yakni keluarga besar PMII Jombang. Keterhubungan mereka bukan rahasia lagi di kalangan kader. Tidak heran jika Elza dianggap sebagai perpanjangan tangan Irkham dalam kontestasi ini. Di sisi lain, Kholisatul Hasanah, yang akrab disapa Lisa, didukung oleh M. Faqih Al Haramain, tokoh muda yang memiliki jejak kuat dalam politik PMII, dan pernah menjadi runner-up dalam Kongres XXI PMII di Palembang. Lisa dan Faqih sama-sama berasal dari PC PMII Jember, yang belakangan menjadi poros baru dalam lanskap politik PMII.
Pertarungan dua tokoh ini berjalan cukup panas di balik layar. Namun, hasilnya berbicara dengan sangat jelas: Lisa menang dengan 18 suara, melampaui Elza yang hanya meraih 11 suara. Sementara Novikha dari Kediri hanya kebagian 2 suara. Kemenangan Lisa bukan semata soal kualitas, angka, dan performa. Ini adalah bagian dari kemenangan politik. Kemenangan jaringan. Kemenangan konsolidasi dari bawah yang jauh dari aroma struktural pusat. Sebaliknya, kekalahan Elza adalah simbol retaknya pengaruh Irkham di jantung PMII itu sendiri, khususnya di Jawa Timur.
Bagi Irkham yang menjabat sebagai Sekjen, kekalahan ini bukan perkara sepele. Hal ini menunjukkan bahwa ia telah gagal menjaga basis, gagal memetakan kekuatan cabang, dan gagal membangun narasi yang dipercaya oleh kader perempuan di Jawa Timur. Padahal, dalam dinamika politik organisasi, kemenangan di daerah basis adalah indikator penting bagi kekuatan nasional. Jika Jawa Timur saja tidak bisa dikonsolidasikan, bagaimana mungkin dapat mengatur PMII secara nasional?
Berbeda dari Irkham, Faqih tampil sebagai tokoh yang tidak banyak bersuara di permukaan, tetapi jelas strateginya. Ia tidak datang dengan instruksi, melainkan dengan pendekatan. Ia tidak menyodorkan calon dengan cara top-down, tetapi mengawal Lisa melalui kerja panjang konsolidasi, dialog dengan cabang, serta negosiasi-ide yang bersifat horizontal. Inilah perbedaan mendasarnya: satu menggunakan kekuasaan, satu lagi membangun kepercayaan. Dan kader Jawa Timur telah memilih kepercayaannya.
Kekalahan Elza juga dapat dibaca sebagai bentuk penolakan terhadap gaya politik elitis dan sentralistik yang selama ini dimainkan oleh beberapa oknum di PB PMII. Relasi Elza dan Irkham yang terlalu dekat, baik secara struktur maupun kultur, justru menciptakan kesan bahwa Elza tidak benar-benar berdiri sebagai representasi cabang, melainkan lebih sebagai simbol kepentingan elite pusat. Dalam politik simbolik, hal ini berbahaya. Kader daerah kini semakin cerdas membaca motif. Mereka bukan sekadar mengikuti instruksi, tetapi mulai memilih berdasarkan pertimbangan ideologis, emosional, dan historis. Sayangnya, Elza gagal memenuhi ketiga aspek tersebut di mata mayoritas peserta Konkorcab.
Kemenangan Lisa juga mencerminkan transformasi politik di tubuh KOPRI PMII. Bukan hanya kemenangan pribadi, tetapi sebuah refleksi bahwa kaderisasi perempuan dalam tubuh PMII harus diserahkan kepada mereka yang benar-benar tumbuh dan besar dalam dinamika lokal, bukan sekadar ditugaskan dari atas. Di sinilah letak keberhasilan Faqih dalam membaca medan. Ia tidak menjadikan Lisa sebagai proyek politik, melainkan kemenangan Lisa sebagai hasil kolektif dari kerja panjang bersama cabang-cabang yang memiliki aspirasi sendiri.
Jika mereka yang berada di top level PB PMII jeli, Konkorcab ini seharusnya dibaca sebagai sinyal. Bukan sekadar kekalahan satu kubu, melainkan indikator keretakan dukungan struktural terhadap kepemimpinan pusat yang tidak membumi. Irkham, dengan segala posisi strategisnya, seharusnya mampu menunjukkan bahwa ia masih memiliki kendali dominan di lapangan. Namun, kenyataannya tidak demikian. Dari sini, wajar saja jika muncul pertanyaan besar: masih pantaskah ia menduduki posisi itu? Ataukah sudah saatnya memberi ruang kepada kader lain yang lebih mampu merawat kepercayaan di basis?
Namun, santai saja, tulisan ini tidak sedang mengusulkan reshuffle kecil-kecilan di tubuh PB PMII. Jauh dari itu. Masa iya Sekjen diganti hanya gara-gara kalah di Konkorcab? Terlalu mahal harga kop surat PB kalau hanya dijadikan taruhan dari sebuah angka 18 lawan 11 di Kota Tape itu. Namun, kita juga tak bisa menahan tawa kecil melihat hasilnya: Faqih, yang bahkan tak memiliki posisi cukup strategis di struktural PB PMII, justru menunjukkan manuver yang lebih rapi, strategis, dan canggih, namun hasilnya lebih konkret. Jika ini diibaratkan diorama politik, maka Faqih tengah berselebrasi dengan penuh gaya.
Dan jika boleh sedikit berandai-andai, siapa yang lebih layak menjadi Sekjen di mata publik akar rumput PMII hari ini? Mohon maaf, di luar struktur, semua tahu jawabannya. Tetapi, ya sudahlah. Mungkin memang bukan waktunya membahas siapa Sekjen ideal.
Kita istirahat dulu. Duduk-duduk sambil nyebat dan minum kopi, sembari membayangkan: bagaimana jadinya kalau Faqih yang duduk di kursi itu? Bukan untuk mendesak perubahan, hanya sekadar lucu-lucuan saja. (*)
*) Penulis: Zayyan Al-Fikri Sholeh.
**) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.