![]() |
Sholehudin Yulianto, Anggota Divisi Advokesma BEM FIA Unisma |
Isu kenaikan gaji anggota DPR memang selalu melahirkan pro dan kontra. Di satu sisi, DPR memiliki tanggung jawab besar dalam pembentukan undang-undang, pengawasan jalannya pemerintahan, serta penyaluran aspirasi rakyat. Namun, di sisi lain, kenaikan gaji tersebut justru dianggap sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap realitas rakyat yang masih berjuang menghadapi kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial.
Persoalan utama terletak pada kinerja DPR yang sering kali tidak sebanding dengan fasilitas dan tunjangan yang sudah mereka terima. Tingkat kehadiran rapat yang rendah, praktik politik transaksional, hingga kasus korupsi yang menyeret sejumlah anggota DPR membuat publik semakin meragukan kelayakan kenaikan gaji tersebut. Logika sederhana masyarakat: gaji tinggi pantas diberikan jika kinerja benar-benar terbukti maksimal, bukan sebaliknya.
Selain itu, kenaikan gaji DPR juga berarti bertambahnya beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal, anggaran negara seharusnya diprioritaskan untuk sektor esensial seperti pendidikan, kesehatan, serta pembangunan infrastruktur yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat banyak. Alih-alih menjadi teladan dalam pengelolaan keuangan negara, DPR justru menambah beban fiskal demi kepentingan kelompoknya sendiri.
Sebagai gambaran, berikut rincian pendapatan anggota DPR dalam satu bulan:
- Gaji pokok: Rp4.200.000
- Tunjangan istri/suami: Rp420.000
- Tunjangan anak: Rp168.000
- Uang sidang/paket: Rp2.000.000
- Tunjangan jabatan: Rp9.700.000
- Tunjangan beras per jiwa: Rp30.090
- Tunjangan PPh Pasal 21: Rp2.699.813
- Tunjangan kehormatan: Rp5.580.000
- Tunjangan komunikasi: Rp15.554.000
- Tunjangan peningkatan fungsi: Rp3.750.000
- Bantuan listrik dan telepon: Rp7.700.000
- Asisten anggota: Rp2.250.000
- Tunjangan rumah: Rp50.000.000
TOTAL: Rp104.051.903
Dengan demikian, kenaikan gaji DPR bukan sekadar persoalan nominal, melainkan juga persoalan moral dan keadilan sosial. Wakil rakyat seharusnya menjadi teladan dalam sikap sederhana dan pengelolaan anggaran negara. Yang dibutuhkan rakyat adalah bukti nyata kerja dan keberpihakan, bukan simbol kemewahan jabatan. Kritik terhadap rencana kenaikan gaji DPR perlu terus digaungkan demi menjaga integritas demokrasi serta memastikan bahwa kepentingan rakyat tetap menjadi prioritas utama.
Apakah kenaikan gaji DPR layak? Dari sudut pandang rakyat yang masih bergulat dengan penderitaan, jelas tidak. Wakil rakyat justru sibuk memperkaya diri dan mengurus kepentingan kelompoknya, sementara rakyat ditinggalkan, maka kita patut bertanya: masih sehatkah demokrasi Indonesia? (*)
*) Penulis: Sholehudin Yulianto, Anggota Divisi Advokesma BEM FIA Unisma.
**) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.