zmedia

Mewaspadai Tiga Jebakan Setan Dalam Proses Hukum Terhadap para Nakama

Mansurni Abadi, Mahasiswa Jurusan Filsafat Avondale University, Coranborg, Australia
HARIANCENDEKIA, ARTIKEL - Gerakan pengibaran bendera one piece yang memantik viralitas diseantero Indonesia yang justru menjalan menjadi symbol pada setiap aksi massa, sudah menimbulkan fenomena berupa pengidentifikasian diri pada sebagian massa aksi dengan menamakan dirinya bagian dari barisan “Nakama”, istilah yang merujuk pada pada teman, rekan, atau anggota kru yang memiliki ikatan kuat dan saling mendukung, seperti keluarga.

Istilah nakama sering digunakan oleh karakter utama, Luffy, untuk menyebut orang-orang yang berlayar bersamanya dan memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari harta karun terbesar,  Nakama dalam One Piece bukan sekadar teman biasa. Mereka adalah orang-orang yang saling berbagi suka dan duka, siap menghadapi apapun demi satu sama lain dalam upaya  melawan entitas represif yang tergabung dalam “World government”.

Responsi pemerintah dalam menghadapi masa aksi termasuk mereka yang mengidentifikasikan dirinya sebagai “Nakama”, itu  selain berupa kekerasan  juga melakukan penangkapan terhadap mereka yang turun aksi diantara tanggal 25 agustus sampai 1 september itu. Setidaknya ada dua rekan penulis yang aktif dalam grup revolusi jolly rogers di whatsapp  termasuk didalamnya Khariq anhar  dari aliansi mahasiswa penggugat , Syahdan Husein dari Gejayan memanggil, dan Reyhan yang dijuluki Prof oleh pihak kepolisian Metro Jaya  itu sudah ditangkap sejak 2 september 2025, yang mana ketiga nama itu menjadi tersangka ter-awal bersama dengan empat orang lainnya  pada konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (2/9/2025) dengan tuduhan menjadi dalah kerusuhan di Jakarta.

Penangkapan para nakama, baik yang penulis kenal maupun tidak, sudah menambah panjang masa aksi yang ditangkap yang 595 orang diantaranya sudah dijadikan tersangka  bahkan ada pula yang dikabarkan hilang, saat artikel ini ditulis kedua orang yang hilang yaitu Farhan dan Reno masih belum kembali. Entah bagaimana nasibnya, apakah seperti  tokoh laut dari  novel laut berceritanya karangan Leila Chudori yang tentunya jangan sampai terjadi atau justru seperti cerita mereka yang telah ditemukan dengan alasan merantau meskipun belakangan ada keraguan dari sebagian publik terkait keterangan mereka yang sudah ditemukan yang alasan menghilangnya karena merantau.

Terkait penangkapan, meskipun polisi berdalih jika penangkapan yang mereka sudah sesuai prosedur dan berdasarkan fakta penyelidikan yang katanya presisi itu , namun fakta objektif terhadap citra kepolisian  yang belum bisa  lepas dari serangkaian perilaku penindakan yang justru  melanggar hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 dan instrumen internasional, patut membuat kita harus meragukan penindakan ini.

Memang dalam sistem hukum ada mekanisme seperti praperadilan yang dirancang untuk melindungi hak-hak tersangka dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak kepolisian, dalam praktiknya, banyak aspek dari proses hukum yang masih dapat mengakibatkan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum.  Bahkan, kekuasaan yang besar yang dimiliki oleh kepolisian sering kali tidak disertai dengan akuntabilitas yang memadai, sehingga menciptakan iklim impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM.

Apalagi represifitas aparat saat ini didukung oleh kondisi “competitive authoritarianism” istilah dari Steven Levitsky untuk menyebut kondisi ketika ruang demokrasi yang menyempit dimana penguasa tidak langsung melarang aksi massa, tapi mengkriminalisasi nya dengan label “subversif,” “makar,” atau “terorisme” atau yang terbaru “Anarko”. Oleh karena itu, penting untuk menelaah persoalan ini lewat berbagai sisi dari mulai pengkambinghitaman, peradilan sesat,  dan rekayasa kasus yang menjadi jebakan setan dalam proses hukum di Indonesia.

Pada dasarnya pengkambinghitaman terjadi karena adanya ketegangan sosial yang perlu dialihkan perhatiannya dari masalah-masalah sistemik yang lebih kompleks kepada persoalan saling tuduh menuduh. Apalagi  ditengah monopoli fakta hanya dari sudut pandang kepolisian, kita cenderung mengabaikan kebenaran dari sisi korban atau koalisi masyarakat sipil yang membela korban.

Yang fatal dari pengkambinghitaman adalah adanya peluang rekayasa kasus dan peradilan sesat dari pihak kepolisian apalagi jika kepolisian terjebak pada kondisi tekanan kinerja, di mana target penyelesaian kasus dapat mendorong tindakan yang tidak etis dan ilegal. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa praktik pengkambinghitaman dapat muncul sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan, dimana kepolisian menggunakan metode-metode yang merugikan individu tanpa adanya bukti yang kuat  demi mencapai tujuan organisasi sembari berlindung dibalik impunitas.

Rekayasa kasus  merujuk pada praktik manipulatif aparat kepolisian dalam menangani tindakan kerusuhan, yang dapat meliputi pengubahan bukti, intimidasi saksi, atau penciptaan saksi dan barang bukti fiktif untuk mencapai keputusan yang diinginkan. Dalam situasi rekayasa kasus , aparat tidak hanya bertindak untuk menjaga ketertiban, tetapi juga dapat berperan dalam menciptakan narasi yang keliru mengenai kejadian yang sebenarnya bahkan bertransaksi kasus seperti dalam praktik tukar kepala dimana ada yang mengantikan atau harus dikorbankan untuk membebaskan pelaku yang sudah dinyatakan bersalah.

Proses intrograsi dan penangkapan dianggap  selalu  menjadi awal mula terjadinya  rekayasa kasus, apalagi  menurut penelitian  Chung et al (2023) teknik interogasi yang digunakan oleh kepolisian seringkali melibatkan  intimidasi psikologis dan kekerasan yang justru  berpeluang menghasilkan temuan yang berpotensi manipulatif yang justru dapat berkontribusi pada rekayasa kasus, di mana individu dapat dipaksa untuk mengakui tindakan yang mungkin tidak mereka lakukan akibatnya banyak kejadian salah tangkap yang justru berujung pada kehancuran kehidupan seseorang.

Sementara pada persoalan peradilan sesat yang diistilahkan dalam bahasa Inggris sebagai "miscarriage of justice," dimana sistem peradilan gagal untuk mencapai hasil yang adil akibat berbagai faktor, termasuk ketidakadilan dalam proses pengambilan keputusan, bias hakim, atau bahkan praktik korupsi masih sering terjadi. Implikasi dari peradilan sesat ini sangat serius bagi hak asasi manusia karena  menyebabkan stigma sosial dan dampak psikologis terhadap individu yang mengalami hal tersebut (Hawalia, 2022; Aminudin, 2020) Yang justru bertentangan dengan cita-cita restoratif justice yang menekankan pentingnya rekonsiliasi dan pemulihan bagi semua pihak yang terlibat, termasuk korban, pelaku, dan masyarakat luas. (*)

*) Pewarta: Mansurni Abadi, Mahasiswa Jurusan Filsafat Avondale University, Coranborg Australia.
**)  Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.

Referensi 
Aminudin, C. (2020). Interaksi hukum dan sains dalam pencarian kebenaran dalam proses peradilan. Jurnal Sosioteknologi, 404-411. https://doi.org/10.5614/sostek.itbj.2020.19.3.8

Chung, K., Wong, Y., Kamaluddin, M., & Bull, R. (2023). Investigative interviewing with suspects: exploring current practices among malaysian police. International Journal of Police Science & Management, 26(1), 118-128. https://doi.org/10.1177/14613557231205785

Hawalia, M. (2022). Implementasi keadilan restoratif berdasarkan surat keputusan direktorat jendral badan peradilan umum mahkamah agung nomor 1691/dju/sk/ps.00/12/2020 tentang pemberlakuan pedoman penerapan keadilan restoratif  di pengadilan umum (studi penelitian di pengadi. Judge Jurnal Hukum, 3(02), 1-8. https://doi.org/10.54209/judge.v3i02.318