![]() |
(Doc. Ahmad Nawwal Samhan) Diskusi buku karya Gus Dur yang bertajuk Insya Allah, Saya Serius: NU, Muhammadiyah, & Budaya Arab yang digelar di Oase Café Literasi, Kamis (30/01/2025) |
Acara ini diinisiasi oleh Hayat Abdurrahman, alumni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Fenomena, dengan menghadirkan Ahmad Mustaqim, alumni LPM Fenomena angkatan 2018, sebagai pembicara utama.
Buku yang menjadi bahan diskusi merupakan kumpulan esai karya Presiden keempat Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang telah disunting oleh Hairus Salim HS. Berisi 26 esai, buku ini merangkum pemikiran Gus Dur mengenai dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, serta kaitannya dengan budaya Arab.
Dalam diskusi tersebut, membahas berbagai aspek menarik dari buku, termasuk cara Gus Dur mengkritisi pemahaman identitas Aswaja dalam konteks NU serta relevansi pemikiran beliau dalam kondisi sosial-politik saat ini.
Salah satu peserta, Nawwal, menyoroti bagian buku yang paling berkesan baginya, yaitu ketika pembicara menyinggung persepsi umum tentang Aswaja di kalangan masyarakat NU.
"Dalam diskusi tadi, Mas Ahmad bilang bahwa NU sering mengklaim dirinya sebagai Aswaja, padahal dalam konteks yang lebih luas, Aswaja tidak hanya milik NU. Masyarakat cenderung mengidentifikasi Aswaja secara eksklusif dengan NU, padahal konsep ini lebih luas," ujarnya.
Selain itu, Nawwal juga menilai bahwa pemikiran Gus Dur masih sangat relevan dengan situasi sosial saat ini, terutama dalam memahami relasi antara budaya Islam dan kehidupan masyarakat Indonesia.
"Budaya NU dan Muhammadiyah sudah mengakar di Indonesia, tetapi penerapannya dalam kehidupan sehari-hari masih sering dipertanyakan. Misalnya, saat terjadi insiden sebuah mobil pikap berisi jeruk terbalik, bukannya menolong, masyarakat malah mengambil jeruk-jeruk yang berjatuhan. Padahal, dalam ajaran NU maupun Muhammadiyah, nilai-nilai etika dan kepedulian sosial sangat ditekankan," tutupnya.