![]() |
Yayang Nanda Budiman, S.H., Lawyer Intern LBH DPN Indonesia, Kolumnis & Legal Content Writer. |
Fenomena ini tentu memantik pertanyaan penting: Apakah penyematan gelar “Duta” terhadap mereka yang sempat terlibat dalam masalah adalah langkah rehabilitasi yang tepat disertai dengan pertimbangan dan alasan yang matang, atau justru menciptakan ironi sosial yang semakin mengikis legitimasi dan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga yang memberikan gelar tersebut?
Hal itu juga sangat relevan untuk dipertanyakan oleh publik menyoal kasus Gunawan ‘Sadbor’ belakangan ini. Usai ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Sukabumi dalam kasus dugaan promosi judi online saat melakukan live streaming bersama kawannya di platform Tiktok beberapa waktu lalu, kini Gunawan ‘Sadbor’ sudah ditangguhkan penahanannya dan resmi dikukuhkan sebagai Duta Anti-Judi Online oleh pihak Kepolisian.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menunjuk Gunawan ‘Sadbor’, seorang content creator TikTok, sebagai Duta Anti-Judi Online. Penunjukan tersebut merupakan respons dari Polri terhadap kritik mengenai perlakuan yang berbeda antara masyarakat umum dan influencer.
Menanggapi alasan dari pihak kepolisian, kita mencoba mengambil kesimpulan sementara bahwa penyematan gelar tersebut adalah upaya untuk memberikan kesempatan kedua atau semacam ritual “penebusan dosa”—sebuah bentuk pemulihan sosial bagi individu yang telah memperlihatkan niat untuk berubah. Tapi publik juga menyadari bahwa hal ini bukan hanya serta merta soal gelar, melainkan perihal kredibilitas, rekam jejak dan pertanyaan substansial: siapa yang layak menyandang gelar “Duta”, dan apa yang sebenarnya ingin dicapai dengan pemberian gelar ini? Selain itu, apakah dengan menunjuk seorang influencer atau content creator seperti Sadbor, persoalan judi online yang menggerogoti bangsa ini akan hilang begitu saja? Saya rasa jawabannya sudah jelas: tidak!
Bagaimanapun, judi online bukan problem yang bisa diselesaikan hanya dengan sebuah selebrasi atau simbol belaka. Ini adalah masalah struktural dan kompleks. Apakah dengan dikukuhkannya Sadbor sebagai Duta Anti-Judi Online dapat diimbangi dengan keseriusan aparat penegak hukum untuk mengusut 27 influencer lain yang diduga turut mempromosikan situs judi online? Kita rasa dengan menunjuk Sadbor, aparat penegak hukum hanya sedang bermain dalam ruang media: mencari respons publik sesaat, bukan sebagai solusi alternatif jangka panjang.
Jika memang alasan pihak kepolisian menetapkan Sadbor sebagai Duta Anti-Judi Online merupakan tanggapan atas kritik publik menyoal dugan praktik tebang pilih perlakuan antara Sadbor dengan influencer lain dalam kasus promosi judi online, jawaban itu sama sekali tak berkorelasi. Publik hanya menginginkan semua influencer yang diduga berperan dalam mempromosikan judi online diusut, diperiksa secara transparan dan akuntabel seperti halnya gerak cepat kepolisian menetapkan Sadbor sebagai tersangka beberapa waktu lalu.
Gelar “Duta”: Rehabilitasi Citra atau Sekadar Simbolisasi?
Pendekatan semacam ini mengingatkan saya pada kebiasaan kita yang seringkali terperangkap dalam simbolisme: kita lebih senang berbicara tentang pemecahan masalah ketimbang benar-benar menyelesaikannya. Alih-alih memperbaiki sistem yang selama ini terinfeksi oleh situs-situs judi online yang semakin berkembang biak dengan cepat, kita justru lebih tertarik untuk memilih figur terkenal untuk dijadikan “icon” yang menutupi ketidakmampuan kita dalam menangani masalah.
Kita tak bisa begitu saja mengabaikan realitas yang ada bahwa gelar seperti “Duta” membawa bobot moral yang besar. Selaku duta, individu tak hanya merepresentasikan dirinya sendiri, tapi juga nilai-nilai yang ia wakili. Duta Anti-Judi Online harus berperan aktif dalam memerangi praktik judi online yang kian merusak, memberikan sinyal kepada influencer lain untuk tidak mempromosikan situs judi online serupa dirinya sebelumnya, hingga memberikan literasi digital yang bijak kepada para pengikut dan penonton kontennya untuk tidak terperangkap dalam aktivitas kemaksiatan digital.
Namun, dengan menyematkan gelar “Duta” kepada individu yang sebelumnya bermasalah dengan hukum, kita seperti sedang memercikan rasa skeptis terhadap integritas gelar itu sendiri. Jika seseorang yang tersangkut kasus hukum, lalu tiba-tiba dianggap layak mewakili nilai-nilai yang bertentangan dengan perbuatan di masa lalu, bukankah itu justru membentuk paradoks moral?
Pemberian gelar “Duta” semestinya adalah sebuah validitas terhadap perubahan positif. Jika kita membicarakan tentang “kesempatan kedua”, semestinya harus mempunyai pertimbangan yang jelas dan terukur. Dalam kasus Sadbor, ada pertanyaan penting yang harus dijawab: apakah perubahan positif itu cukup nyata? Apakah niatnya untuk menanggulangi perjudian online di media sosial datang dari hati nurani, ataukah ini semata hanya langkah strategis untuk menetralisir citra yang telah terkontaminasi?
Kita bisa saja terperangkap dalam narasi romantisme pemberian kesempatan kedua yang mungkin hanya berfokus pada aspek pribadi, namun kita harus ingat juga bahwa penyematan gelar semacam ini bukanlah perkara menyelesaikan masalah pribadi seseorang, melainkan bagaimana gelar itu memberi efek positif kepada masyarakat luas. Jangan sampai kita membiasakan diri untuk terjebak dalam logika yang menganggap “perubahan” itu diciptakan hanya dengan pemberian gelar tertentu.
Solusi Nyata vs Selebrasi Simbolik dalam Perang Melawan Judi Online
Pada akhirnya, polemik perihal penyematan gelar Duta Judi Online kepada Gunawan ‘Sadbor’ adalah cerminan dari ketidakjelasan kita dalam memandang integritas dan keadilan. Gelar semacam ini tidak hanya soal siapa yang pantas, tetapi juga soal apa yang ingin kita capai melalui gelar itu. Apakah itu hanya sebuah penghargaan, ataukah ia mencerminkan komitmen nyata terhadap perubahan sosial yang lebih besar?
Kita perlu berhati-hati, karena sekali gelar semacam ini diberikan, ia akan membawa dampak jangka panjang—baik dalam hal citra individu maupun dalam hal reputasi sistem moral yang kita anut. Jangan sampai gelar Duta hanya menjadi alat untuk menutupi kekurangan moral dan hukum, dan jangan sampai kita hanya menjadi masyarakat yang terbuai oleh "kemasan" tanpa pernah benar-benar melihat isi dari produk tersebut.
Oleh karena itu, di sini saya kembali mengingatkan kita semua perihal satu prinsip dasar: masalah serius memerlukan solusi serius, bukan sekadar pendeklarasian atau upacara penyematan duta yang tampak keren sebagai bahan berita. Dari banyaknya pekerjaan rumah yang belum diselesaikan, lembaga Bhayangkara semestinya lebih fokus pada penguatan penegakan hukum yang lebih substansial untuk membongkar praktik judi online secara menyeluruh, sepertihalnya dalam mengusut kasus “bekingan” judi online yang melibatkan belasan pegawai Komdigi beberapa waktu. Alih-alih memberantas hulu masalah, pihak kepolisian justru memilih jalan yang lebih mudah dengan mengangkat seorang content creator yang mempromosikan judi online sebagai Duta Anti-Judi Online.
Aparat penegak hukum mempunyai peralatan yang canggih, sumber daya manusia yang profesional dan kewenangan diskresi dalam mengakses segala sektor vital semestinya dijadikan modal untuk menyelesaikan masalah ini hingga menyentuh jaringan para bandar dan aktor kunci yang berperan penting mengatur industri dosa digital ini beroperasi di Indonesia.
Hemat kata, Sadbor boleh saja menjadi simbol. Akan tetapi kita lebih memilih untuk mempertegas kembali bahwa simbolisasi tidak akan pernah menggantikan tindakan nyata, apapun itu alasannya. Dan tindakan nyata, dalam hal ini, bukan hanya sebatas publisitas, tetapi dengan memperkuat sistem teknologi, reformasi internal kelembagaan hingga penegakan hukum yang berkeadilan dan tanpa tebang pilih.
Jika aparat penegak hukum hendak membuktikan bahwa mereka serius dalam memerangi judi online, mari kita lihat strategi dan langkah konkret mereka—tidak hanya selalu terjebak dalam formalitas simbolik yang tidak membawa dampak nyata.
*) Penulis: Yayang Nanda Budiman, S.H., Lawyer Intern LBH DPN Indonesia, Kolumnis & Legal Content Writer.
*) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi.