zmedia

Pendidikan Tinggi Dinilai Kehilangan Arah, Akhmad Mustaqim: Kuliah Itu Bukan Bengkel!

(Doc. Istimewa) Ahmad Mustaqim dalam Podcast Komentator Roominesia
HARIANCENDEKIA, MALANG – Di tengah kegamangan sistem pendidikan nasional, akademisi Malang, Akhmad Mustaqim, melontarkan kritik tajam terhadap arah dan realitas pendidikan tinggi di Indonesia yang dinilai "kian kehilangan jati diri".

Dalam sebuah perbincangan terbuka, Mustaqim menyoroti bagaimana mahasiswa zaman kini kerap terjebak dalam arus teknologi tanpa mampu memanfaatkannya secara bijak.

“Sekarang ini pertanyaannya sederhana: kita yang dikendalikan teknologi, atau kita yang mengendalikan teknologi?” tegasnya dalam podcast Roominesia.

Ia menambahkan bahwa mahasiswa hari ini mengalami kebingungan eksistensial, kehilangan arah tentang siapa diri mereka dan apa potensi unik yang bisa ditawarkan ke masyarakat.

“Banyak mahasiswa yang hanya punya bukti bahwa mereka pernah sekolah, tapi tidak pernah benar-benar berpikir,” tambahnya.

Mustaqim juga menyentil tajam sistem pendidikan yang terus berubah-ubah mengikuti pergantian menteri.

“Ganti menteri ganti sistem. Apa gunanya? Harusnya ada satu sistem paten yang kontekstual dan bisa diadaptasi, bukan terus-menerus dirombak,” ujarnya, mengutip keluhan yang sama dari akademisi Prof. Mufti.

Lebih jauh, ia mengkritik gagasan bahwa pendidikan tinggi adalah 'bengkel perbaikan' manusia.

“Perguruan tinggi bukan bengkel untuk memperbaiki yang rusak jadi bagus. Kalau kita tidak siap secara intelektual dan sosial, kampus hanya akan jadi tempat numpang ijazah,” tegasnya.

Soal jurusan yang tidak linier dengan pekerjaan? Ia menegaskan bukan sistem semata yang salah, melainkan kegagalan mahasiswa mengenali jati dirinya sejak awal.

“Kita harus tahu keahlian kita sejak awal. Jangan baru lulus baru mikir: saya mau ke mana?” katanya.

Tak hanya itu, Mustaqim menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi para tenaga pengajar.

“Banyak guru kita pagi ngajar, malamnya jadi ojek online. Itu bukan karena malas, tapi karena sistem tidak menghargai pengabdian,” ucapnya dengan suara berat. “Di negara lain, guru adalah profesi terhormat. Di sini? Bahkan mertua pun tidak mau punya menantu guru.”

Sebagai solusi, ia menegaskan bahwa reformasi pendidikan harus dimulai dari kualitas guru.

“Ambil lulusan terbaik dari kampus terbaik, jadikan mereka guru. Tapi pastikan mereka sejahtera. Jangan biarkan idealisme mati karena perut lapar,” tambahnya.

Mustaqim menyimpulkan bahwa pendidikan Indonesia hari ini butuh dua kesadaran: jati diri dan adaptasi. Kalau bisa nulis, jangan cuma nulis di blog. Tulis di media nasional. Kalau pintar bicara, jangan cuma ngomong di tongkrongan, tapi manfaatkan untuk mengedukasi.

Satu kalimat menutup wawancaranya dengan pedas namun reflektif: “Kalau pendidikan kita terus begini, anak-anak kita bukan akan lebih pintar, tapi lebih tersesat dalam dunia yang katanya modern.” pungkasnya. (Red)
ADVERTISMENTIKLAN ARTIKEL