![]() |
Denil Haq |
Publik kini menyoroti perluasan peran TNI dalam instansi sipil. Banyak pihak berpendapat bahwa RUU TNI berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer karena terdapat pasal yang memungkinkan peningkatan jumlah kementerian atau lembaga yang dapat dijabat oleh prajurit aktif.
Lalu, bagaimana dengan nasib RUU Perampasan Aset? RUU ini sudah lama dinantikan untuk dijadikan alat hukum dalam menangani kejahatan korupsi. Namun, apakah ia dikubur demi kepentingan pribadi atau kelompok hingga tak lagi muncul di meja pembahasan di Senayan?
Proses pengesahan RUU Perampasan Aset yang berjalan lambat semakin menjadi sorotan, terutama di tengah penerapan penyitaan kendaraan masyarakat akibat tunggakan pajak yang lebih dulu diberlakukan. Hal ini menarik perhatian mahasiswa dan berbagai kalangan yang melakukan kajian mendalam. RUU Perampasan Aset yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2023 dan 2024 masih belum juga disahkan. Padahal, mekanisme perampasan aset bagi pelaku korupsi telah diatur dalam Pasal 38 ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 38B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Pengesahan RUU TNI merupakan hasil revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pembahasan RUU ini dimulai sejak Februari 2025 dan melibatkan berbagai elemen, baik dari pemerintah maupun masyarakat sipil. Meskipun mendapat penolakan dari beberapa kelompok, DPR tetap melanjutkan proses hingga akhirnya disahkan.
Namun, pengesahan RUU TNI tidak lepas dari kritik. Banyak pihak khawatir bahwa perubahan ini dapat mengurangi supremasi sipil dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh militer. Selain itu, keterlibatan prajurit aktif dalam posisi sipil juga dinilai berisiko menghidupkan kembali dwifungsi TNI.
Kritik terhadap RUU TNI mencerminkan kekecewaan masyarakat yang merasa sistem pemerintahan terus bermain-main dengan kebijakan. Para pemangku kebijakan seharusnya lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat daripada memperluas peran militer dalam pemerintahan, yang bertentangan dengan amanat reformasi. Ironisnya, pembahasan RUU ini dilakukan secara tertutup, hingga akhirnya terungkap melalui video yang viral di media sosial KontraS. Hal ini semakin menimbulkan pertanyaan tentang kepentingan di balik pengesahan RUU TNI.
Setelah RUU TNI diketuk palu oleh Ketua DPR RI dan Presiden, sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang ada pada DPR, serta Pasal 20 ayat (2) yang mengatur bahwa setiap RUU harus mendapat persetujuan DPR dan Presiden, muncul pertanyaan baru. Apakah UU TNI akan membuat institusi militer lebih adaptif dalam menghadapi tantangan modern seperti ancaman siber dan dinamika geopolitik internasional? Namun, yang lebih penting adalah memastikan implementasinya berjalan transparan agar tidak menimbulkan permasalahan di masa depan.
Di sisi lain, RUU Perampasan Aset masih terhambat. Mengapa pembahasannya tidak secepat RUU TNI? Apa yang sebenarnya terjadi dengan RUU ini? Sangat disayangkan bahwa penyitaan kendaraan akibat tunggakan pajak sudah diterapkan lebih dulu, sementara aset hasil korupsi masih belum tersentuh hukum secara efektif. Publik geram melihat banyaknya kasus korupsi yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah, seakan-akan praktik ini menjadi kompetisi seperti klasemen sepak bola yang memperebutkan "juara korupsi."
RUU Perampasan Aset tidak bisa dilepaskan dari substansi yang terkandung di dalamnya. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), sudah saatnya Indonesia, sebagai negara yang telah meratifikasi United Nations Against Corruption (UNCAC), mengadopsi prinsip-prinsip dasar perampasan aset dalam sistem hukumnya. Salah satu aspek penting yang harus diatur adalah "definisi spesifik" perampasan aset agar tidak terjadi multitafsir.
RUU TNI dan RUU Perampasan Aset mencerminkan cara kerja pemangku kebijakan—apakah mereka lebih mengutamakan kepentingan rakyat atau hanya fokus pada kepentingan kelompok tertentu. Hingga kini, rakyat terus menjadi korban dari kebijakan yang sarat dengan kepentingan politik. Banyak janji kampanye terdengar manis, termasuk janji pengesahan RUU Perampasan Aset, yang tampaknya hanya menjadi alat politik untuk meraih popularitas.
"Katanya mau berantas korupsi, kok asetnya masih nempel? Kayak permen karet di sepatu."