![]() |
M. Randi Basri, Ketua Rayon Abdurrahman Wahid Komisariat Universitas Islam Malang |
Keputusan Menteri Kesehatan ini menimbulkan ambiguitas dalam dunia kefarmasian dan mempersempit prospek kerja apoteker, khususnya dengan keberadaan apotek inti dan apotek plasma. Yang menjadi kejanggalan dalam regulasi ini adalah bahwa apotek plasma tidak diwajibkan memiliki Apoteker Penanggung Jawab (APJ), cukup dengan tenaga kesehatan lainnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kurangnya edukasi yang tepat kepada masyarakat terkait penggunaan obat yang rasional dan aman.
Keputusan Menteri Kesehatan ini memang mengandung hal positif, namun ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan, termasuk mempertimbangkan sektor lain. Bagaimana nasib apotek-apotek yang sudah lama berdiri di desa dan menggantungkan penghasilan sehari-hari dari keberadaan apotek tersebut? Apa yang akan terjadi dengan mereka nantinya?
Seolah-olah keputusan Menteri Kesehatan ini berupaya bersaing dengan apotek swasta yang telah lebih dahulu hadir di desa-desa. Belum lagi pernyataan Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, yang menyatakan bahwa nantinya obat-obatan di apotek inti atau apotek plasma akan digratiskan. Lantas, bagaimana nasib apotek swasta di desa? Katanya ingin menciptakan 19 juta lapangan pekerjaan, tetapi kenyataannya mempersempit peluang kerja yang sudah ada.
Yang menjadi kontroversi dari keputusan Menteri Kesehatan ini adalah bahwa apotek inti atau apotek plasma dapat memesan obat sebanyak-banyaknya tanpa dianggap sebagai masalah dan tidak akan disegel. Sedangkan apotek swasta tidak diperbolehkan melakukan hal serupa karena berisiko terkena sanksi penyegelan. Belum lagi syarat pendirian apotek inti/apotek plasma yang dipermudah, sementara syarat untuk membuka apotek swasta justru dipersulit.
Seharusnya, keputusan Menteri Kesehatan ini bisa membuka lebih banyak peluang kerja bagi apoteker di Indonesia. Namun kenyataannya justru menyulitkan. Karena yang berhak menjadi Apoteker Penanggung Jawab (APJ) di apotek inti hanyalah apoteker yang berasal dari Dinas Kesehatan (Dinkes) atau puskesmas desa setempat. Mengapa tidak membuka peluang bagi apoteker yang belum memiliki pekerjaan agar mereka juga mendapatkan prospek kerja? (*)
*) Penulis: M. Randi Basri, Ketua PMII Rayon Abdurahman Wahid
**) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.