![]() |
Risma Nuriz, Mahasiswa FIA Unisma |
Tidak sedikit yang ingin menduduki kursi legislatif. Hal ini terbukti dari tingginya partisipasi calon anggota DPR setiap lima tahun sekali. Fenomena tersebut menunjukkan adanya kesadaran berpolitik yang substansial, tetapi menimbulkan pertanyaan.
Bagaimana mungkin antusiasme itu tidak berbanding lurus dengan keberpihakan nyata kepada rakyat, terutama kelompok masyarakat yang masih bergulat dengan kejamnya kemiskinan? Pertanyaan ini semakin relevan ketika penulis pernah menjalani magang di kantor DPRD Kota Malang. Tepat di depan gedung megah parlemen tersebut justru terlihat masyarakat yang menggantungkan hidupnya sebagai pengemis, tukang becak, bahkan gelandangan. Sebuah ironi yang memperlihatkan kesenjangan ekonomi begitu nyata: di satu sisi berdiri megah gedung kekuasaan, sementara di sisi lain rakyat kecil terabaikan tepat di depan mata para wakilnya.
Pengalaman lain saat magang di kantor DPRD, penulis menyaksikan langsung sekelompok rakyat sederhana yang datang dengan penuh keyakinan dan harapan untuk beraudiensi. Mereka hanyalah pedagang kaki lima yang ingin mendapatkan ruang dan tempat berjualan layak demi menyambung hidup keluarganya. Dengan wajah letih, mereka mengadu kepada wakil rakyat yang mereka percayai. Namun, yang mereka terima hanyalah janji. Betapa pilu menyaksikan kenyataan itu: rakyat datang dengan tulus mencari penghidupan, justru pulang dengan tanda tanya dan tangan hampa. Sementara di balik tembok kokoh gedung parlemen, kepentingan mereka hanya menjadi catatan kecil yang mudah dilupakan.
Sebagai mahasiswa Administrasi Publik, penulis melihat kegagalan representasi ini bukan sekadar masalah moral, tetapi juga persoalan tata kelola negara. Fenomena kesenjangan tersebut menunjukkan adanya krisis representasi dalam lembaga legislatif, bahwa jarak antara rakyat dan wakil rakyat masih terbentang lebar. Tanpa komitmen nyata untuk berpihak kepada rakyat miskin, kursi legislatif hanya akan menjadi singgasana kekuasaan, bukan wadah aspirasi, pelayanan, apalagi perwakilan.
Kini pertanyaannya, apakah DPR masih layak dipertahankan sebagai lembaga perwakilan, atau justru telah kehilangan legitimasi hingga pantas untuk dibubarkan? (*)
*) Penulis: Risma Nuriz, Mahasiswa FIA Unisma.
**) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.