![]() |
(Doc. Istimewa) Ilustrasi pendidikan tinggi |
Namun dari banyaknya regulasi dan sistem yang telah dikeluarkan oleh pemerintah nampaknya belum mampu meningkatkan taraf kualitas pendidikan yang ada d Indonesia. Hal tersebut ter-interpretasikan dari hasil ujian Programme for international student assessment (PISA) yang mana Indonesia berada pada rank 70 dari 80 negara. Hal tersebut tentu berbanding terbalik dengan hasil PISA negara tetangga (Singapura) yang menduduki peringkat 1 global di tahun 2024. Hal tersebut terstruktur hingga jenjang pendidikan yang ada pada perguruan tinggi yang mana hasil pemeringkatan setingkat universitas menunjukan bahwasannya universitas Top Indonesia hanya mampu menduduki peringkat 719.
Dari cerminan angka tersebut tentu kita melihat adanya usaha dan upaya yang secara aktif dilakukan oleh pemerintah untuk menunjang pendidikan yang berkeadilan dan lebih baik. Namun sayangnya hampir dari keseluruhan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, kita melihat tidak adanya rujukan budaya akademik yang terpola modernitas. Pemerintah kita perhari ini masih terlalu kaku dan terjebak pada money orientation.
Lebih dari itu, masyarakat Indonesia dipertontonkan dengan ketidakjelasan diskriminasi antar jenis pendidikan. Terkhusus pada jenis akademik (S-1) dan juga vokasi (D3/D4). Kita melihat adanya ketidakpahaman pemerintah itu sendiri pada tiap peluncuran program penunjang pendidikan. Contohnya Kampus merdeka yang diluncurkan 2021 dengan tujuan mulia untuk mengembangkan kompetensi yang relevan dengan dunia kerja. Program ini sangat menarik sehingga mahasiswa manapun pasti berbondong bondong mendaftarkan diri untuk terlibat pada program tersebut. Dengan benefit uang saku perbulan serta konversi SKS tentu program ini susah untuk di skip oleh mahasiswa yang memiliki orientasi cepat Lulus.
Jika mengacu pada draf kurikulum yang dikeluarkan pemerintah, kita melihat bahwasannya ada tahapan pembelajaran yang perlu dijalani mahasiswa dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia. Hal tersebut adalah capaian pembelajaran yang jelas, organisasi perguruan tinggi yang sehat dan juga pengelolaan serta ketersediaan rancangan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan pasca kerja. Namun secara rasionalitas, ''capaian pembelajaran yang jelas'' terlihat sedikit sulit terealisasi dikarenakan program Kampus merdeka yang perhari ini berubah menjadi Kampus berdampak tidak terfokus pada keilmuan yang dipelajari dibangku Kampus.
Niat mulia untuk membentangkan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada seluruh mahasiswa tanpa mendiskriminasi jurusan malah mendorong mahasiswa dengan pemikiran pragmatis dan menyepelekan profesi tertentu. 12 SKS yang dikonversikan pun tak jarang salah sasar pada mata kuliah yang sebenarnya butuh pemahaman teoritik yang mendalam. Hasilnya sistem pendidikan tinggi kita perhari ini menghasilkan mahasiswa pragmatic dan tidak kritis terhadap isu social dikarenakan beban ganda pada masa perkuliahan yang belum matang.
Tak jarang juga kita menemukan banyaknya organisasi kampus yang sepi anggota bahkan hingga terkadang dibekukan karena tidak memiliki anggota. Program Kampus perhari ini bisa dibilang sebagai media pembungkam kritisisasi mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah. Padahal mahasiswa memiliki tanggungjawab besar sebagai mitra oposisi dari pemerintah yang bertugas untuk mengawal tiap kebijakan pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil makmur.
Hal tersebut seakan diperkuat kembali dengan kemunculan regulasi di UU No. 12 Tahun 2012 pasal 65 ayat 1 yang menyatakan bahwa penyelenggara otonomi perguruan tinggi dapat diberikan secara selektif berdasarkan kinerja oleh menteri kepada PTN dengan menerapkan pola keuangan badan layanan umum atau dengan membentuk PTN berbadan hukum untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu. Secara regulatif tentu hal tersebut merupakan acuan yang baik dalam menunjang ketersediaan serta kemandirian dari perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan.
Namun jika ditelaah lebih dalam lagi dan seperti yang dikatakan oleh Khanan Saputra dalam journal ilmiahnya, bahwasannya PTN BH sesuai dengan amanat pasal 65 ayat 1 seakan mengisyaratkan pelepasan tanggungjawabnya diranah pendidikan kepada mekanisme pasar dan koorporasi. Dan pada akhirnya perguruan tinggi kehilangan marwahnya sebagai lembaga pendidikan mulia dan membentuk konstruksi wacana dan struktur social yang keliru. Dengan adanya PTN BH kita melihat bahwasannya muncul berbagai rasa pesimisme masyarakat dan beranggapan bahwasannya perguruan tinggi merupakan ladang komersialisasi selembar kertas kualifikasi pembuka gerbang karir pragmatisme. Akhir dari wacana tersebut adalah terjerumus nya mahasiswa dalam pemahaman "kuliah yang penting bayar dan Lulus" tanpa memahami, meresapi dan melaksanakan tridharma perguruan tinggi dengan baik dan sepenuh hati. Perguruan tinggi yang dalam Hal ini Kampus tentu sudah kehilangan ruhnya sebagai rumah perjuangan yang bertujuan untuk menjadi tempat berproses yang baik.
Menyikapi hal demikian, tentu kita memerlukan beberapa perubahan besar dalam rana kependidikan khususnya di dunia kampus. Medan kritisisasi sebagai mitra oposisi dari pemerintah perlu dipertajam dan diperkuat. Maka demikian perlu peninjauan kembali program kampus berdampak. Hal yang demikian bukan berarti kita menolak adanya program bermutu tersebut, namun alangkah baiknya program tersebut perlu dipertimbangkan kembali sasarannya. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan tinggi perlu memahami dan mengevaluasi total program programnya agar dapat menyesuaikan dengan amanat tri dharma perguruan tinggi.
Selain itu, sejak awal dan sejak dasar Pendidikan yang diberikan kepada Masyarakat Indonesia perlu diperbaharui sesuai dengan kebutuhan lapangannya. Asesmen kebutuhan Pendidikan perlu dilakukan dengan baik dan terstruktur serta tidak hanya simbolis sebagai dasar menggugurkan kewajiban dan menghabiskan anggaran. Kampus sebagai cikal bakal lahirnya Pendidikan yang berkualitas perlu menjadi symbol Pendidikan yang berkualitas. Maka, PTN BH dan program kampus berdampak perlu ditinjau kembali demi kebaikan bersama. (*)
*) Penulis: Aisyiah Aiwani Baletti.
**) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.