![]() |
Pitrus Puspito, Guru dan Penulis |
Suatu hari di pertengahan tahun 2015 ketika saya membaca novel Pramoedya Ananta Toer berjudul Rumah Kaca di kampus. Seorang kawan bertanya “Memang kita ada tugas membaca buku itu ya?” Atau pada tahun 2019 ketika saya membaca novel John Steinbeck berjudul East Of Eden, seorang rekan kerja berkomentar, “Guru kok yang dibaca novel bukan materi pelajaran.”
Membaca novel seringkali dianggap sebatas mencari hiburan atau bahkan suatu keanehan jika dilakukan oleh orang dewasa. Padahal membaca novel kita belajar tentang berbagai konflik yang terjadi di dalamnya. Novel menurut Prof. Bambang Sugiharto, ialah rekaman jatuh bangunnya manusia. Rekaman kerumitan emosi dan imajinasi seorang pengarang dalam menyusun cerita. Sementara itu Wellek dan Warren menjelaskan bahwa sebagai suatu karya sastra, novel menempati posisi sebagai rekaman yang mampu mencerminkan atau mengekspresikan kehidupan.
Konflik-konflik yang ada dalam novel pun merupakan cerminan masyarakat yang merupakan gabungan antara narasi dan imajinasi si pengarang. Dalam teori sastra, konflik di dalam novel dibagi menjadi tiga, yakni konflik tokoh antar tokoh (tokoh protagonis dangan antagonis), konflik batin, dan konflik tokoh dengan alam. Semua konflik itu apabila kita refleksikan tiada lain merupakan konflik yang kita alami dalam kehidupan sehari-sehari.
Pentingnya Novel
Jean Paul Sartre, filsuf eksistensialis sekaligus pengarang dari Prancis pernah berkata, “Semuanya telah diketahui, kecuali bagaimana untuk hidup.” Pernyataan ini ditujukan untuk mengapresiasi berbagai pencapaian dan penemuan manusia di bidang sains dan teknologi. Namun di sisi lain, cara manusia dalam menjalani kehidupan tetap menjadi misteri. Novel dapat dijadikan inspirasi dan motivasi dalam menjalani kehidupan kita. Sebab hidup tidak sebatas pengetahuan dan tidak sebatas sains. Hidup itu rumit dan setiap orang mempersepsikannya melalui pengalaman. Dari berbagai persepsi orang itulah, pengarang menuliskannya sebagai karya sastra yang kita sebut novel itu.
Novel ialah karya tulisan individu, bersifat personal namun memuat nilai-nilai universal tentang manusia dan konflik dalam hidupnya. Maka semakin kita banyak membaca novel dengan berbagai genre dan dari pengarang-pengaran hebat, kita sebetulnya sedang menyelami aneka bentuk kehidupan serta aneka perspektif dari setiap pengarang dalam memandang dunia.
Dengan membaca novel, empati dan kepekaan kita terhadap kemanusiaan semakin tumbuh dan diperdalam. Kita akan belajar menerima keberagaman, baik keberagaman etnis, budaya, bahasa maupun agama. Melalui novel kita mengenal banyak pengarang dengan karya-karyanya. Kita juga akan mengenal segala konteks yang melatarbelakangi kemunculan sebuah novel. Sebab seperti pengertiannya, novel selalu mencerminkan kondisi sosial dan semangat zamannya. Jadi, novel bukan sekadar bacaan hiburan yang imajinatif, novel menawarkan nilai-nilai kehidupan di dalamnya.
Meningkatkan Kreativitas dan Imajinasi
Sastrawan Indonesia, Budi Darma, pada sebuah seminar pernah mengungkapkan, bahwa kreativitas adalah penemuan paling penting dalam sejarah peradaban manusia. Pernyataan itu diungkapkannya untuk menekankan pentingnya kreativitas jika dibandingkan dengan penemuan sains (discovery) atau penemuan objek lainnya.
Budi Darma memberikan contoh yang sangat baik, yakni tentang penemuan pesawat telepon oleh Alexander Graham Bell. Seandainya Alexander Graham Bell tidak pernah lahir atau meninggal saat masih kecil, pasti suatu hari ada orang lain yang menemukan pesawat telepon. Sebab unsur-unsur untuk menciptakan perangkat telepon tidak pernah musnah di dunia ini, hanya menunggu waktu penemu lain merangkainya menjadi pesawat telepon. Begitu juga penemuan Benua Amerika. Seandainya Christopher Columbus tidak pernah lahir, pasti ada penjelajah lain yang menemukan dunia baru yang disebut Amerika itu. Sebab Benua Amerika akan tetap ada dan menunggu untuk ditemukan oleh seseorang. Penemuan di bidang sains maupun di bidang lain hanyalah soal waktu.
Namun seandainya William Shakespeare tidak lahir, dapat dipastikan karya besar seperti Romeo & Juliet tidak pernah akan ada. Pengarang lain memang akan lahir, tapi belum tentu menciptakan karya yang persis sama seperti Romeo & Juliet yang telah dijadikan simbol tentang tragedi kisah cinta itu.
William Shakespeare, seorang pujangga dan dramawan berkebangsaan Inggris dengan kreatif dan imajinatif menulis naskah drama Romeo & Juliet. Kisah terkenal itu merupakan hasil kreativitas William Shakespeare yang memadukan beberapa karya sastra lain seperti cerita rakyat dari Verona Italia dan babad dari Denmark. Dari proses kreatif itu, lahirlah karya seperti Romeo & Juliet dan karya-karya William Shakespeare lainnya. Inilah mengapa kreativitas disebut penemuan yang personal.
Selain itu menurut Wellek dan Werren, seorang pengarang lebih memahami psikologi manusia ketimbang profesi-profesi lainnya. Pengarang dapat menampilkan berbagai karakter di dalam novelnya. Dengan kemampuannya itu, seorang pengarang melalui novel-novelnya, mewakili setiap perspektif, setiap konflik, dan karakter orang-orang di dunia nyata. Dengan demikian novel telah memenuhi fungsinya seperti yang diungkapkan Horace yakni menghibur dan bermanfaat (dulce et utile). (*)
*) Penulis: Pitrus Puspito, Guru dan Penulis.
**) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.