zmedia

Membaca Ulang Wajah Keadilan di Indonesia

Muhammad Adha Afik
HARIANCENDEKIA, OPINI - Pada tahun 2015, Indonesia di gemparkan oleh kasus hukum yang menimpa nenek-nenek di Situbondo Jawa Timur. Bayangkan sebuah ruang sidang di kota kecil. Seorang Wanita lansia berumur 63 tahun duduk di kursi pesakitan, wajahnya tertunduk, tubuhnya gemetar. Kesalahannya sederhana ia mengambil beberapa ranting kayu dari pohon yang sudah tumbang, dan nenek itu dituduh mencuri di Kawasan tanah yang dikelola Perhutani. Dan aparat hukum dengan tegas mengatakan: “Pasal sudah jelas, pencurian tetaplah pencurian.” Nenek itu pun diadili layaknya penjahat besar.

Kontras dengan itu, di layar televisi, seorang pejabat yang terbukti merampok uang negara dalam jumlah miliaran tampil rapi, tersenyum, bahkan mendapat potongan hukuman karena alasan “berkelakuan baik.” Ironi semacam ini kerap kita jumpai di Indonesia. Maka, muncul pertanyaan mendasar: apakah hukum di negeri ini benar-benar berpihak pada manusia, atau justru manusia dipaksa tunduk pada hukum yang kaku?

Civil Law: Warisan Kolonial yang Membentuk Sistem Hukum Indonesia

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menoleh ke sejarah. Sistem hukum Indonesia lahir dari warisan kolonial Belanda. Belanda menganut Civil Law, sebuah tradisi hukum Eropa Kontinental yang berakar dari hukum Romawi. Ciri utamanya adalah kodifikasi semua aturan hukum ditulis dan dikumpulkan dalam kitab undang-undang seperti KUHPerdata, KUHP, dan KUHD.

Civil Law mengedepankan kepastian. Hakim dalam sistem ini diposisikan sekadar sebagai “corong undang-undang”, bukan pencipta hukum. Peran utama mereka adalah membaca teks, menafsir sesuai prosedur, lalu memutus perkara. Di atas kertas, sistem ini tampak indah: hukum tertata, rasional, dan konsisten.

Namun, persoalannya muncul ketika sistem ini diterapkan di Indonesia. Banyak aturan hukum yang berlaku hingga kini masih merupakan produk kolonial abad ke-19, yang jelas tidak lahir dari kebutuhan bangsa ini. KUHP, misalnya, disusun di Belanda tahun 1881, diberlakukan di Hindia Belanda tahun 1918, dan hingga sekarang masih dipakai dengan sedikit modifikasi. Bagaimana mungkin teks yang lahir dari konteks kolonial bisa sepenuhnya menjawab persoalan bangsa modern dengan 270 juta penduduk?

Akibatnya, praktik Civil Law di Indonesia sering tampak kaku, formalistik, dan terjebak dalam legalisme. Undang-undang dijadikan satu-satunya sumber kebenaran, meski kenyataannya tidak selalu adil. Inilah yang menimbulkan jarak antara hukum di atas kertas dengan rasa keadilan di masyarakat.

Hukum Progresif: Terobosan Satjipto Rahardjo

Kekakuan itu dikritik habis-habisan oleh almarhum Prof. Satjipto Rahardjo, seorang guru besar hukum dari Universitas Diponegoro. Beliau menggagas konsep Hukum Progresif, sebuah pemikiran yang berangkat dari kegelisahan atas praktik hukum positifistik.

Prinsip dasar hukum progresif sederhana namun revolusioner: “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” Dengan kata lain, hukum tidak boleh berdiri di atas manusia. Hukum seharusnya melayani, melindungi, dan mengangkat martabat manusia. Jika undang-undang kaku justru menghalangi keadilan, maka hukum progresif mendorong hakim, jaksa, atau polisi untuk berani menafsir, bahkan melampaui teks, demi menghadirkan keadilan substantif.

Hukum progresif memiliki tiga pilar utama: 
  1. Humanisme menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai tujuan akhir hukum.
  2. Anti positivisme menolak pandangan bahwa hukum identik dengan teks undan-undang semata.
  3. Kreativitas aparat hukum memberi ruang bagi hakim dan penegak hukum untuk membuat terobosan, bukan hanya menjalankan hukum secara mekanis. 
Relevansi Hukum Progresif di Indonesia

Mengapa hukum progresif relevan di Indonesia? Pertama, karena sesuai dengan nilainilai Pancasila. Sila kedua berbicara tentang kemanusiaan, sila kelima tentang keadilan sosial. Semangat ini sejalan dengan hukum progresif yang berpihak pada keadilan substantif, bukan sekadar kepastian formal.

Kedua, karena hukum progresif mampu menjawab kelemahan Civil Law. Civil Law memberikan kepastian, tapi sering mengabaikan rasa keadilan. Hukum progresif mengisi kekosongan itu dengan memberi ruang bagi kemanusiaan.

Ketiga, karena praktiknya sudah mulai terlihat. Restorative justice, misalnya, kini digunakan dalam banyak kasus pidana ringan. Daripada memenjarakan pelaku, aparat memilih menyelesaikan kasus dengan mediasi, rekonsiliasi, dan pemulihan hubungan sosial. Contoh lain adalah lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menjadi terobosan hukum progresif dalam menghadapi kejahatan luar biasa yang tidak mampu ditangani KUHP dan KUHAP.

Kritik terhadap Civil Law di Indonesia

Meski memberi kepastian, Civil Law tidak luput dari kritik, khususnya di konteks Indonesia:
  1. Formalisme yang kaku undang-undang dijadikan patokan tunggal, meski terkadang menimbulkan ketidakadilan. 
  2. Warisan colonial banyak aturan tidak lahir dari kebutuhan bangsa sendiri, sehingga tidak kontekstual.
  3. Hakim pasif hakim sering dianggap tidak punya ruang untuk menafsir hukum secara kreatif.
  4. Kurang responsive lambat menyesuaikan diri dengan tantangan baru seperti kejahatan korporasi, cybercrime, atau kerusakan lingkungan.
Tantangan dan Harapan

Tentu saja, menerapkan hukum progresif tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada tantangan besar yang harus dihadapi:
  1. Budaya hukum aparat yang masih terbiasa berpikir legalistik.
  2. Risiko penyalahgunaan tafsir progresif jika tidak diimbangi integritas moral.
  3. Keterbatasan politik hukum yang masih sangat formalistik.
Namun, tantangan itu bukan alasan untuk berhenti. Justru di tengah kompleksitas persoalan bangsa dari korupsi, kesenjangan sosial, hingga pelanggaran HAM hukum progresif menjadi cahaya yang menuntun. Ia bukan sekadar wacana akademik, melainkan kebutuhan nyata bagi masyarakat.

Napas Baru Hukum Indonesia

Hukum di Indonesia tidak boleh hanya menjadi teks mati di atas kertas. Ia harus hidup, berdetak bersama denyut nadi rakyatnya. Civil Law telah memberi kita kerangka kepastian, tetapi hukum progresif yang bisa memberi kita keadilan.

Satjipto Rahardjo pernah berkata: “Hukum yang baik adalah hukum yang berpihak kepada manusia.” Kalimat itu layak menjadi kompas moral bagi bangsa ini. Kita tidak bisa selamanya terjebak dalam warisan kolonial yang kaku. Indonesia membutuhkan hukum yang berani melampaui teks, hukum yang berpihak pada rakyat kecil, hukum yang membela kemanusiaan.

Pada akhirnya, hukum progresif bukan hanya sebuah gagasan, melainkan sebuah napas baru yang bisa menghidupkan kembali hukum Indonesia agar benar-benar menjadi hukum yang adil, humanis, dan relevan dengan zamannya. (*)

*) Penulis: Muhammad Adha Afik.
**)  Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.