zmedia

Teknologi Emas, Generasi Cemas: Menelaah Epidemi Sexual Harassment dalam Pemanfaatan AI

Aisyiah Aiwani Baletti, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang
HARIANCENDEKIA, OPINI – Di era perkembangan zaman yang melesat seperti sekarang, kita seakan dihujani tawaran kemudahan teknologi dan informasi di segala lini kehidupan. Akses informasi hari ini meluas tanpa batas. Kita bisa dengan mudah melakukan searching, googling, bahkan secara tidak sengaja menemukan berita di beranda media sosial. Perkembangan ini sungguh menakjubkan.

Di tengah transformasi teknologi dan informasi tersebut, ada satu inovasi yang paling hype dan marak digunakan: Artificial Intelligence (AI). Kecerdasan buatan ini mampu meniru kemampuan manusia dalam memecahkan masalah, bernalar, bahkan memberikan pandangan atas pertanyaan yang diajukan oleh “tuannya”. Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, dalam sebuah sambutan di Binus University pernah menyampaikan dengan gaya bicaranya yang santai: “Manusia yang tidak memakai AI akan kalah sama manusia yang memakai AI.” Pernyataan ini sontak menggugah semangat masyarakat untuk memanfaatkan teknologi ini.

Namun, sama seperti teknologi lain, AI tidak hanya membawa manfaat dan keuntungan. Sistem ini juga menyimpan bahaya bagi mereka yang tidak bijak menggunakannya. Beberapa di antaranya adalah:
  1. Terbentuknya sikap pragmatis dalam mencari informasi, di mana individu cenderung menerima data mentah tanpa kritisisme.
  2. Munculnya kejahatan baru berbasis AI akibat minimnya kesiapan masyarakat dalam pemanfaatan teknologi.
Kejahatan berbasis AI ini bermacam-macam: penipuan melalui voice dubbing, kekerasan seksual lewat deepfake, hingga praktik berbahaya di layanan kesehatan mental yang bisa merendahkan korban dengan lelucon seksis, pelecehan gender, bahkan doxing.

Kasus di Indonesia dan Lemahnya Regulasi

Di Indonesia, kasus terkait penyalahgunaan AI sudah beberapa kali terungkap. Salah satunya adalah laporan mengenai deepfake yang dilakukan seorang mahasiswa di sebuah kampus. Dalam artikel ilmiah Riza Budiutomo (2025) yang merujuk laporan SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), disebutkan seorang korban melapor ke pihak berwajib, namun ironisnya aparat menyatakan belum ada dasar hukum yang kuat untuk menjerat pelaku. Padahal, Indonesia memiliki landasan kenegaraan yang seharusnya menjamin hak-hak warganya.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa epidemi sexual harassment berbasis AI pada dasarnya bermuara pada lemahnya sistem dan regulasi hukum. Kejahatan ini kerap terkait komersialisasi kebutuhan primer, ditambah ketergantungan pengguna pada AI, serta bias data dan algoritma yang tertanam dalam sistem.

Potret Global: Pelecehan oleh Sistem Itu Sendiri

Artikel ilmiah Namvopour dari Departemen Ilmu Informasi Universitas Drexel, AS, mengungkap data menarik: dari 35.105 ulasan negatif terhadap aplikasi AI di Google Play Store, sekitar 800 di antaranya teridentifikasi sebagai kasus sexual harassment. Lebih miris lagi, sebagian kasus justru berasal dari sistem itu sendiri. AI yang seharusnya menjadi wadah bertukar pandangan terkadang memberikan jawaban yang dipelintir, mengandung lelucon seksis, bahkan mengarah pada pelecehan seksual daring.

Dampaknya jelas. Generasi sekarang banyak terjerat masalah mental serius. Ketergantungan berlebihan pada AI dalam berbagai aspek, termasuk konsultasi kesehatan mental, sering kali menimbulkan masalah baru. Karena keterbatasan AI, pengguna justru berisiko mengalami ketidakstabilan emosi, depresi, ketakutan berlebih, gangguan makan, hingga PTSD.

Upaya Preventif dan Kuratif

Melihat fenomena ini, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk membentengi diri dari epidemi sexual harassment berbasis AI:

Upaya preventif:
  1. Memperkuat pendidikan agar mampu mengkritisi setiap informasi dari AI.
  2. Membatasi penggunaan media sosial untuk menghindari paparan deepfake yang terstruktur.
  3. Menggunakan AI secara bijak dan tidak bergantung penuh agar terhindar dari bias algoritma yang bisa mengarah pada pelecehan.
Upaya kuratif:
  1. Melaporkan kasus dengan memberikan rating atau aduan pada aplikasi.
  2. Memberikan dukungan psikologis bagi korban kekerasan seksual berbasis AI.
  3. Melakukan kajian komprehensif untuk mendorong regulasi hukum yang memadai.
  4. Menyuarakan ketidakadilan atas praktik penyalahgunaan AI.
Dari uraian di atas, jelas bahwa AI merupakan teknologi dengan manfaat luar biasa dalam kehidupan sehari-hari. Namun, manfaat itu hanya bisa diraih jika pemanfaatannya dibarengi dengan kesadaran, kontrol diri, dan sistem pengawasan yang kuat.

Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, kita perlu melakukan pengendalian diri, menyaring informasi, sekaligus mengawal sistem agar berpihak pada kemanusiaan. Perkembangan teknologi harus tetap berjalan, tetapi jangan sampai melupakan sisi manusiawi yang menjadi fondasi peradaban. (*)

*) Penulis: Aisyiah Aiwani Baletti, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
**)  Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.