![]() |
Muhammad Adha Afik |
Fenomena krisis literasi di kalangan mahasiswa bukan sekadar isu akademik, melainkan gejala sosial yang mencerminkan cara generasi ini berinteraksi dengan pengetahuan. Di tengah banjir informasi digital, mahasiswa justru terombang-ambing dalam arus yang dangkal. Mereka setiap hari membaca banyak hal, tetapi sedikit yang benar-benar mereka pahami. Ironisnya, semakin mudah akses terhadap informasi, semakin sulit menemukan kedalaman berpikir.
Mahasiswa hari ini terbiasa membaca cepat, bahkan terlalu cepat. Mereka menelusuri ringkasan, cuplikan, atau potongan tulisan di media sosial bukan karena tidak mau belajar, melainkan karena budaya digital melatih mereka untuk fokus pada yang singkat dan instan. Mereka membaca dengan mata, bukan dengan pikiran. Di ruang kuliah, sebagian mampu menjelaskan teori dengan lancar, tetapi kehilangan kemampuan menafsirkan makna di baliknya. Mereka mengutip tanpa merenung, berbicara tanpa refleksi. Tugas-tugas kuliah pun sering dikerjakan sekadar untuk menggugurkan kewajiban, bukan untuk memperluas wawasan. Akibatnya, aktivitas akademik kehilangan nilai intelektualnya.
Masalah literasi mahasiswa juga lahir dari budaya akademik yang lebih menghargai kecepatan daripada ketelitian. Kampus menjadi tempat mengejar deadline, bukan menumbuhkan pemahaman. Buku-buku tebal dianggap beban, bukan sumber pencerahan. Mahasiswa sibuk mengetik, tapi jarang berpikir. Dalam sistem yang seperti ini, membaca kehilangan maknanya sebagai proses kontemplatif. Mahasiswa tidak lagi diajak menikmati waktu hening bersama buku, atau menantang pikirannya melalui teks yang sulit. Pendidikan tinggi pun kian bergeser dari pembentukan intelektual menjadi sekadar produksi nilai dan sertifikat.
Mahasiswa hari ini hidup dalam kemewahan informasi, namun kemewahan itu sering menjelma jebakan. Mereka pandai mencari informasi, tapi lemah dalam memilah dan menilai. Hoaks dan opini tanpa dasar dengan mudah disebarkan tanpa verifikasi. Dalam tugas akademik, plagiarisme ringan dianggap lumrah, kutipan dari sumber tidak jelas menjadi hal biasa. Keterampilan digital yang tinggi tidak selalu berarti kemampuan literasi yang matang. Banyak mahasiswa menguasai alat, tapi tidak menguasai gagasan. Padahal, literasi sejati menuntut kedisiplinan berpikir, kemampuan membedakan fakta dari opini, data dari narasi, kebenaran dari kepentingan.
Krisis literasi sejatinya adalah krisis jati diri mahasiswa sebagai insan akademik. Mahasiswa yang tidak membaca kehilangan arah tentang siapa dirinya dan untuk apa ia belajar. Ia mungkin lulus dengan gelar, tapi tidak dengan kebijaksanaan. Ia mampu mengutip teori, tapi tidak memahami konteks sosial dan moral di baliknya. Ketika kemampuan literasi menurun, daya kritis ikut tumpul. Mahasiswa mudah mengikuti arus opini publik tanpa menimbang kebenaran.
Diskusi kampus kehilangan kedalaman, debat berubah menjadi ajang popularitas. Mahasiswa yang dulu dikenal sebagai motor perubahan kini sering terjebak pada wacana permukaan sibuk bersuara, tapi jarang berpikir panjang.
Kita tentu tidak bisa semata-mata menyalahkan mahasiswa. Sistem pendidikan tinggi pun berkontribusi besar. Kurikulum sering menekankan hasil, bukan proses. Dosen terbebani administrasi dan penelitian formalistik, sementara ruang dialog intelektual menyempit. Kampus lebih sibuk mengejar akreditasi ketimbang menumbuhkan budaya literasi.
Padahal, literasi tidak tumbuh dari kewajiban, melainkan dari rasa ingin tahu. Ia memerlukan lingkungan yang mendorong pertanyaan, bukan hanya jawaban. Selama membaca dianggap sekadar tugas akademik, bukan kebutuhan batin, krisis literasi akan tetap berulang.
Namun, tidak semua kabar suram. Di berbagai kampus, masih ada kelompok mahasiswa yang mencoba melawan arus. Mereka membangun komunitas baca, mengadakan diskusi lintas disiplin, atau menulis esai reflektif. Di tengah budaya digital yang serba cepat, mereka memilih berjalan pelan. Mereka membaca bukan untuk tugas, tapi untuk memahami dunia. Gerakan kecil semacam ini penting, karena literasi tidak tumbuh dari perintah, melainkan dari teladan.
Ketika satu mahasiswa membaca, ia menyalakan api kecil di tengah gelapnya ketidakpedulian. Dan ketika api kecil itu menyebar, kampus bisa kembali hidup bukan hanya sebagai tempat belajar, tapi tempat berpikir.
Yang dibutuhkan sekarang bukan sekadar kampanye membaca, melainkan perubahan cara pandang terhadap membaca. Literasi harus dipahami sebagai tindakan sadar untuk memahami diri dan zaman. Dosen perlu kembali menjadi pembaca yang menginspirasi, bukan sekadar penguji. Kampus harus membuka ruang dialog yang bebas dari tekanan administratif. Dan mahasiswa, sebelum menuntut perubahan besar, perlu terlebih dahulu menaklukkan halaman-halaman kecil buku yang lama tak disentuhnya.
Membaca adalah tindakan paling sunyi, tapi juga paling subversif. Ia menumbuhkan kemampuan berpikir mandiri, menolak dogma, dan menantang kemapanan. Dalam dunia yang semakin bising oleh informasi, mahasiswa yang mampu membaca dengan tenang justru menjadi yang paling berani melawan arus.
Krisis literasi mahasiswa bukan akhir dari kecerdasan generasi, melainkan panggilan untuk berhenti sejenak dan lanjut membaca lebih dalam, berpikir lebih jernih, dan berdialog lebih terbuka. Sebab, peradaban kampus tidak diukur dari seberapa cepat ia mencetak lulusan, tetapi dari seberapa dalam ia menumbuhkan kebijaksanaan. Tugas paling mendesak hari ini sesederhana ini, membuka buku, membuka pikiran, lalu membuka percakapan. (*)
*) Penulis: Muhammad Adha Afik.
**) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.