![]() |
Muhammad Ibnu Musa AL., S. H |
Sementara itu, dunia di luar bergerak cepat. Pengetahuan melesat menembus batas ruang dan waktu. Teknologi mengubah cara manusia berpikir, berinteraksi, dan mencari jawaban. Namun, di sebagian ruang yang seharusnya menjadi sumber perubahan, kebiasaan lama masih bersemayam. Di sana, masa lalu terus diajarkan, bukan sebagai pelajaran, melainkan sebagai cara hidup.
Fenomena ini bukan sekadar soal metode belajar, melainkan persoalan mentalitas. Sebuah kecenderungan untuk bertahan di zona nyaman, untuk merasa cukup dengan kebiasaan yang dulu pernah dianggap berhasil. Padahal, zaman tak lagi sama.
Kita hidup di era di mana pengetahuan tidak lagi mengalir dari satu sumber. Ia muncul dari kolaborasi, dari interaksi, dari keberanian mempertanyakan. Namun sebagian orang masih berpegang pada keyakinan lama, bahwa mengajar berarti berbicara, bahwa diam berarti belajar, dan bahwa disiplin berarti tunduk.
Paradigma seperti ini membuat proses belajar kehilangan jiwanya. Pengetahuan berubah menjadi hafalan, bukan pemahaman. Pikiran menjadi penurut, bukan pencipta. Akibatnya, generasi yang lahir dari sistem seperti ini cenderung pandai meniru, tapi gagap berinovasi. Mereka tahu banyak teori, tetapi tidak tahu bagaimana menggunakannya.
Bukan berarti tradisi lama tak punya nilai. Di masa lalu, cara itu mungkin efektif. Dunia saat itu bergerak lambat, sumber informasi terbatas, dan struktur sosial menempatkan pengetahuan sebagai sesuatu yang harus diwariskan dengan hormat. Tapi di era keterbukaan informasi, cara lama kehilangan relevansinya. Kini, siapa pun bisa belajar dari mana saja. Otoritas pengetahuan bukan lagi monopoli siapa pun.
Yang menjadi masalah adalah ketika metode lama dipertahankan tanpa refleksi. Ketika suara tunggal terus mendominasi, sementara suara lain tak diberi ruang. Ketika pertanyaan dianggap gangguan, bukan bagian dari pencarian. Di titik itulah, pembelajaran berhenti menjadi proses hidup, dan berubah menjadi rutinitas kaku yang hanya menjaga penampilan formal.
Penelitian di berbagai lembaga pendidikan menunjukkan gejala yang sama. Mayoritas proses belajar masih berpusat pada pengajar, bukan pada peserta didik. Ceramah masih menjadi metode utama, sementara diskusi, eksplorasi, dan kolaborasi hanya menjadi pelengkap. Sebuah studi mencatat, lebih dari 70 persen kegiatan belajar masih dilakukan dalam bentuk satu arah. Data lain menunjukkan bahwa hampir separuh pengajar belum memiliki kompetensi pedagogik yang memadai untuk menerapkan metode partisipatif.
Angka-angka itu hanyalah cermin kecil dari persoalan besar, sistem yang gagal menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Di atas kertas, standar pendidikan kita sudah sangat maju. Regulasi menuntut pembelajaran yang menumbuhkan kreativitas, berpikir kritis, dan kemandirian. Namun di lapangan, hal-hal itu sering berakhir sebagai slogan. Banyak yang memahami aturan, tetapi tidak menghayati semangat di baliknya.
Masalahnya bukan hanya keterbatasan fasilitas, tetapi juga cara berpikir yang statis. Banyak yang melihat pembaruan sebagai ancaman, bukan peluang. Inovasi dianggap mengguncang ketertiban, padahal justru di situlah kemajuan dimulai.
Ketika cara lama terus dipertahankan, dampaknya menjalar ke generasi penerus. Mereka tumbuh dalam kebiasaan untuk menunggu perintah, bukan mengambil inisiatif. Mereka belajar mencari jawaban, bukan memahami pertanyaan. Dalam jangka panjang, ini menciptakan budaya pasif yang menular di kelas, di tempat kerja, bahkan di masyarakat.
Sebuah bangsa tidak akan maju jika cara berpikirnya berhenti di masa lalu. Revolusi teknologi, ekonomi digital, dan transformasi sosial menuntut manusia yang adaptif, bukan hanya patuh. Pembelajaran sejatinya adalah proses melahirkan kemampuan untuk bertanya, bukan sekadar menjawab.
Ironisnya, di tengah gempuran perubahan, banyak yang masih bangga dengan stabilitas semu, kelas yang tenang, peserta didik yang tidak banyak bicara, hasil ujian yang seragam. Semua tampak rapi, tapi sebenarnya mati. Tidak ada dinamika, tidak ada percikan ide.
Kebiasaan lama ini bertahan karena dianggap aman. Mengajar dengan cara yang sama setiap tahun terasa lebih mudah. Tak perlu repot menyiapkan diskusi, tak perlu pusing dengan kritik, tak perlu takut kehilangan wibawa. Tapi keamanan seperti ini justru menjadi jebakan. Ia membuat kita nyaman dalam stagnasi. Padahal, perubahan tidak pernah lahir dari kenyamanan. Ia tumbuh dari kegelisahan, dari keberanian untuk mempertanyakan, dan dari kesediaan untuk belajar ulang.
Mereka yang masih setia pada cara lama mungkin lupa bahwa mengajar sejatinya juga proses belajar. Seorang pengajar yang berhenti belajar akan kehilangan kemampuan memahami dunia yang berubah di sekitarnya. Pengetahuan yang tidak diperbarui hanya akan menjadi arsip indah dibaca, tapi tidak relevan dijalankan.
Kita tidak bisa berharap muncul generasi kreatif dari sistem yang mengekang kebebasan berpikir. Kita tidak bisa berharap muncul pemimpin yang kritis dari ruang-ruang yang mematikan pertanyaan.
Sudah saatnya kita meninjau ulang apa arti sebenarnya dari belajar dan mengajar. Belajar bukan sekadar menerima informasi, dan mengajar bukan sekadar menyampaikan pengetahuan. Ia adalah proses bersama untuk memahami kehidupan sebuah dialog antara pikiran dan pengalaman.
Jika pembelajaran terus diperlakukan sebagai rutinitas formal, maka kita hanya akan mencetak kepatuhan, bukan kecerdasan. Perubahan mungkin tak bisa terjadi dalam semalam. Tapi ia harus dimulai sekarang, dari kesadaran bahwa cara lama tak lagi cukup untuk menjawab tantangan baru.
Dunia tidak akan menunggu mereka yang masih mengajar masa lalu. Karena di zaman yang bergerak secepat ini, ketertinggalan bukan lagi soal kemampuan, tapi soal keberanian untuk berubah. (*)
*) Penulis: Muhammad Ibnu Musa AL., S. H.
**) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.