zmedia

Menelaah Buruknya Kualitas SDM Wakil Rakyat Kita dan Jalan Keluarnya

Putu Ayu Suniadewi, Mahasiswa Magister INTI International University Malaysia
HARIANCENDEKIA, OPINI - Kerusuhan besar diakhir agustus hingga awal September 2025, tidak bisa dilepaskan dari fakta terkait adanya  arogansi sebagian anggota dewan yang mereka pertontonkan kepada publik sebagai respon terhadap kenaikan tunjangan yang 25 kali lipat lebih besar dari pendapatan rata-rata warga Indonesia.

Yang cukup mengecewakan kenaikan tunjangan anggota dewan yang tidak layak dihormati itu buka  tidak diimbangi dengan keterbukaan terkait urgensi perlunya kenaikan itu dan dampak kinerja mereka ke publik. Sudah tentu, kalau berkerja di perusahaan swasta ada istilah Key performance indicator (indeks penilaian kinerja) yang menentukan kenaikan pangkat dan upah sesuai dengan kinerja yang  justru tidak ada untuk wakil rakyat yang kurang terhormat.

Pasca aksi besar-besaran yang memakan banyak korban itu dan berujung ditetapkannya 959 orang sebagai tahanan politik oleh pihak kepolisian dimana menurut keterangan Kabareskrim Polri Komjen Syahardiantono yang dirilis oleh website portal humas POLRI pada rabu (24/9/2025) terdiri dari  664 tersangka orang dewasa dan 295 anak di bawah umur.

Pada awal September pula, koalisi masyarakat sipil  yang didukung oleh beberapa influencer ramai-ramai mengusung aspirasi 17 +8 yang didalamnya terdapat beberapa point terkait evaluasi kinerja dan penghapusan tunjangan para wakil rakyat meskipun kemudian aspirasi ini dikabulkan dalam bentuk pemotongan gaji namun take home pay sebesar 65 juta lebih masih bisa dikatakan terlalu tinggi apalagi belakangan bermunculan kabar jika  ditingkat daerah tidak terjadi penurunan tunjangan.

Gaji yang besar tentu harus berbanding lurus dengan kinerja yang baik, namun tidak dengan wakil rakyat di Indonesia yang persoalan kinerjanya hanya Tuhan, mereka, dan Kroninya yang tahu bahkan komunikasi publik mereka pun cenderung rendah. 
Apalagi ketika membahas persoalan kinerja, kita juga harus membahas persoalan kemampuan para anggota dewan yang seringkali tidak matching dengan bidang yang mereka tangani padahal rakyat yang berpikir sudah tentu akan mengerti kalau suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya efeknya diantara kerusakan dan musibah yang beruntun.

Faktanya, kinerja DPR RI sejak 2004 hingga entah kapan, lebih banyak memunculkan musibah, sensasi, dan  kasus. banyaknya Anggota DPR yang jadi Pelaku KKN merupakan bukti nyata kebobrokan para wakil rakyat. penyebab dari semua ini selain dari politik yang sarat akan budaya KKN, juga  bermuara dari banyaknya anggota DPR yang bukan ahlinya tetapi dilantik mengelola sistem bernegara terutama bidang-bidang teknis dan strategis seperti riset, energi, pertahanan, keuangan, teknologi, pendidikan, dan lain sebagainya.

Perlu kita ketahui bersama, jabatan sebagai anggota DPR baik di tingkat pusat sampai daerah, bukan persoalan kompetensi tapi representasi. Karena wakil rakyat adalah siapa pun yang dipilih rakyat, entah itu karena populer, artis, influencer, atau memang punya basis massa serta modal yang cukup. Jadi persoalan kompetensi itu hal yang kesekian. Jadi kalau ada artis masuk DPR dan dikasih komisi yang isinya isu teknis, itu sah-sah aja secara aturan , toh setelah jadi, biasanya tugas mereka akan lebih banyak bergantung pada staff dan tenaga ahli.

Kalau dicermati pula persoalan penambahan Tenaga Ahli dan Staf Ahli, itu disebabkan budaya Parlemen yang  terjerumus dalam pola pikir dan pola kerja yang salah. Selama ini, Parlemen lebih tertarik kepada kerja operasional dan bahkan klerikal, dibanding kerja yg bersifat strategis untuk membuat haluan penunjuk arah  kemana negara ini harus menuju dan bagaimana pembangunan bangsa ini harus dikelola.

Kerja anggota parlemen yang lebih berbobot eksekusi  dibanding yg berbobot pengarahan  ini, akhirnya menempatkan parlemen hanya menjadi pelengkap atau kenek, bukan menjadi navigator  perjalanan.  Celakanya lagi, sudahlah kerjanya kenek, tapi mau imbalan sebagai navigator.

Kemudian soal dapil (daerah pemilihan), juga tak kalah menarik. Banyak wakil rakyat yang  berasal dari daerah yang bukan asalnya. Hal ini karena partai bebas menaruh calon di daerah pemilihan mana pun, selama dianggap bisa mendulang suara. Jadi sering kali , rakyat malah diwakili orang yang bahkan tidak punya ikatan kuat dengan daerahnya. Jadi lebih mirip strategi partai cari kursi daripada benar-benar mewakili akar rumput di daerah itu.

Untuk persoalan pendidikan, ini yang agak ironis kalau  apalagi kalau dibandingkan dengan staf dan tenaga ahli mereka yang minimal s2 bahkan ada yang menargetkan s3 dengan seabrek pengalaman riset, jelas amat njomplang dengan syarat minimal pendidikan buat anggota DPR. Apalagi kalau mau ditempatkan di komisi yang sifatnya teknis dan strategis. Tapi di sisi lain,  memang ada risiko suara rakyat jadi dibatasi hanya untuk orang berpendidikan tinggi.  Padahal dalam demokrasi, wakil rakyat itu terbuka untuk siapa saja. Jadi dilema antara kualitas pendidikan dan representasi masih menjadi pekerjaan rumah.

Oleh karena itu yang bisa kita lakukan kedepannya jika kita ingin memiliki wakil rakyat yang berkualitas, maka jadilah pemilih cerdas yang memilih bukan hanya karena popularitas apalagi sogokan, tetapi juga karena kapasitas dan rekam jejaknya. Sebenarnya banyak calon wakil rakyat yang memiliki kapasitas dan integritas namun kalah dengan yang popular. Partai sebagai pengusung wakil rakyat juga perlu melaksanakan fungsi kaderisasinya dan kehendak politik yang benar dalam bentuk melawan budaya KKN dari dalam partai mereka sendiri serta melakukan penyeleksian calon wakil rakyat secara benar dan berintegritas. Selain daripada itu diperlukan juga mekanisme pencalonan independen untuk wakil rakyat para wakil rakyat di DPR sehingga rakyat bisa mengusulkan wakil yang ideal menurut mereka. (*)

*) Penulis: Putu Ayi Suniandewi, Mahasiswa Magister INTI International University Malaysia.
**)  Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.