zmedia

PP 39 Tahun 2025: Pemerintah Beri Akses Prioritas WIUP bagi Koperasi, UKM, dan Ormas Keagamaan

(Doc. Tangkap layar) Salinan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 96 Tahun 2021 mengenai pelaksanaan kegiatan pertambangan mineral dan batubara.
HARIANCENNDEKIA, JAKARTA - Pemerintah terus memperkuat tata kelola sektor pertambangan nasional dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 96 Tahun 2021. Regulasi yang ditetapkan pada 11 September 2025 ini menjadi langkah progresif dalam mendukung hilirisasi dan pemerataan manfaat ekonomi sumber daya alam.

Salah satu perubahan paling menonjol dalam PP 39/2025 adalah mekanisme pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) untuk mineral logam dan batubara. Jika sebelumnya WIUP hanya dapat diperoleh melalui mekanisme lelang, kini pemerintah membuka jalur pemberian prioritas kepada kelompok tertentu.

Kelompok penerima prioritas meliputi koperasi, badan usaha kecil dan menengah, serta badan usaha milik ormas keagamaan. Selain itu, BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta yang bekerja sama dengan perguruan tinggi atau terlibat dalam hilirisasi juga dapat memperoleh prioritas pemberian WIUP.

Batasan Luas WIUP dan Kepemilikan Saham
Dalam aturan baru tersebut, koperasi dan UKM dapat diberikan WIUP mineral logam atau batubara dengan luas maksimal 2.500 hektare. Sementara itu, badan usaha milik ormas keagamaan, BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta yang terlibat dalam kerja sama pendidikan tinggi atau hilirisasi dapat memperoleh WIUP mineral logam hingga 25.000 hektare dan WIUP batubara hingga 15.000 hektare.

Untuk menjamin akuntabilitas, pemerintah mensyaratkan bahwa minimal 67 persen saham badan usaha milik ormas keagamaan harus dimiliki langsung oleh ormas tersebut dan telah terdaftar secara resmi. Adapun koperasi dan UKM penerima prioritas wajib berkedudukan atau memiliki wilayah keanggotaan di kabupaten/kota yang sama dengan lokasi WIUP yang diajukan.

Dorongan Hilirisasi dan Ketahanan Energi

PP 39/2025 juga menegaskan kewajiban bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) untuk memenuhi kebutuhan mineral dan batubara dalam negeri, khususnya bagi BUMN di sektor strategis seperti ketenagalistrikan, energi, pupuk, dan industri nasional.

Selain itu, aturan ini membuka peluang pemanfaatan mineral radioaktif hasil sampingan pengolahan sebagai sumber energi baru, serta mendorong optimalisasi logam tanah jarang (rare earth) untuk pengembangan industri prioritas di dalam negeri.

Kepastian Usaha dan Perpanjangan Izin
Perubahan penting lainnya terdapat pada ketentuan perpanjangan IUP dan IUPK tahap operasi produksi. IUP non-terintegrasi kini dapat diperpanjang dua kali dengan jangka waktu masing-masing 5 hingga 10 tahun, tergantung jenis mineral atau batubara.

Sementara itu, bagi IUP atau IUPK yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan, pemurnian, atau pengembangan, pemerintah memberikan ruang perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan. Jika izin telah habis masa berlakunya, Menteri dapat memberikan perpanjangan sementara maksimal 1 tahun guna menjamin kepastian usaha dan penyelesaian kewajiban seperti reklamasi atau pasca tambang.

Mendorong Distribusi Manfaat yang Lebih Inklusif

Melalui PP 39 Tahun 2025, pemerintah menunjukkan keseriusan untuk menjadikan sektor pertambangan sebagai instrumen pemerataan ekonomi. Pelibatan koperasi, UKM, dan ormas keagamaan diharapkan dapat memperluas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi nasional.

Dengan demikian, regulasi ini tidak hanya menata ulang tata kelola izin tambang, tetapi juga menghadirkan arah baru yang lebih inklusif, transparan, dan berkeadilan bagi seluruh pelaku usaha di sektor pertambangan. (Red)