![]() |
| Muhammad Rizki Syafa’at, Mahasiswa UIN Syarief Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Prodi PBA |
Film “Sampai Titik Terakhirmu” yang dibintangi oleh aktor muda Arbani Yasiz (Albi) dan Mawar De Jongh (Shella) menyajikan narasi autentik dari kisah nyata. Naskah dalam film ini secara cermat memanfaatkan elemen kebahasaan sebagai fondasi utama emosi penonton, Oleh karena itu analisis ini akan difokuskan pada tiga aspek utama linguistik yang menjadi penopang kekuatan film: pertama, penggunaan ragam bahasa personal yang natural dalam membangun kedekatan. kedua, kajian terhadap tindakan berbahasa komisif sebagai penegas janji kesetiaan. ketiga, peran esensial bahasa nonverbal dalam memperkaya makna yang tidak terucapkan.
Penggunaan ragam bahasa personal yang natural dalam membangun kedekatan, inti dari kisah nyata Albi dan Shella adalah kedekatan mereka sebagai pasangan muda yang sama-sama memperjuangkan cintanya. Dalam film ini dapat kita analisis suatu diksi serta dialog yang membangun kedekatan interaksi mereka, Contoh diksi: “sayang” dan “seng” suatu diksi yang santai, dan dapat membangun kohesi personal juga membuat penonton yang sebaya merasa terhubung, lalu dalam segi dialog Albi: “Shella kira-kira kamu mau enggak ya jadi pacar aku?” Shella: ”Iya aku mau jadi pacar kamu” Dialog yang digunakan ini, merupakan dialog yang dapat membangun hubungan mereka semakin dekat dan melanjutkan hubungan yang lebih tinggi, yaitu menikah.
Setelah membangun kedekatan melalui ragam bahasa, naskah film ini beralih ke momen paling krusial yaitu janji kesetiaan. Secara Pragmatik, komitmen yang diucapkan oleh Albi untuk mendampingi Shella hingga akhir hayatnya merupakan tindakan berbahasa komisif. Ungkapan terkuat janji ini terletak pada kalimat yang digunakan oleh Albi ketika ia mengucapkan “Aku pasti akan di sini menemanimu dan tidak akan pernah meninggalkanmu, hingga sampai titik terakhirmu.” Ungkapan ini merupakan suatu tanda kepastian, bahkan Ketika fakta medis menunjukkan ketidakpastian. Akan tetapi penggunaan diksi “pasti” dan “tidak akan pernah” bukan hanya sekadar basa-basi itu adalah suatu pernyataan linguistik yang mengikat hubungan cinta Albi dan Shella tetap setia sampai akhir hayatnya.
Lebih menarik lagi pada momen penolakan. Ketika Shella mengungkapkan rasa bersalahnya karena tidak bisa memiliki anak akibat sel kanker yang tumbuh di rahimnya, lalu ia meminta Albi untuk meninggalkannya dan mencari wanita yang lebih sempurna darinya. Akan tetapi Albi menolak. Walaupun seperti itu keadaannya Albi tidak akan pernah meninggalkan Shella sampai titik terakhirnya. Penolakan Albi terhadap permintaan Shella tersebut, secara linguistik adalah tindakan direktif negatif. Namun secara pragmatis penolakan itu justru menjadi penegasan Kembali, janji dan komitmen cinta Albi dan Shella yang harus diperjuangkan sampai titik terakhirnya.
Meskipun kekuatan dialog dalam film “Sampai Titik Terakhirmu” telah kita bedah, sebuah film drama tidak akan lengkap tanpa peran esensial bahasa nonverbal. Dalam film ini, banyak sekali unsur-unsur bahasa nonverbal, seperti: tatapan, sentuhan, dan bahasa tubuh. Selain itu, bahasa nonverbal juga sebagai penyeimbang, terutama di saat emosi karakter berada di titik tertinggi. Contoh momen krusial disaat Albi ke rumah sakit dan melihat Shella sedang berbaring di atas kasur, di saat itulah dialog verbal terhenti, lalu suasana menjadi hening, keheningan ini bukanlah kekosongan, akan tetapi sebuah dialog nonverbal yang menyiratkan rasa takut akan kehilangan sosok wanita yang telah Albi cintai dan perjuangkan di dalam hidupnya.
Selain itu, sentuhan dan bahasa tubuh juga menjadi penegas makna bahasa nonverbal. Contoh momen ini adalah ketika Albi dan Shella sedang berhadapan, lalu Albi menggenggam tangan Shella dan memeluknya dengan tatapan mata yang mulai meneteskan air mata serta dihiasi dengan senyuman yang dipaksakan. Semua ini termasuk dalam bahasa tubuh yang menyiratkan suatu janji atau komitmen yang harus Albi penuhi, yaitu menjaga dan menemani Shella sampai titik terakhirnya.
Melalui analisis yang telah kita bahas, terbukti bahwa film “Sampai Titik Terakhirmu” tidak hanya mengutamakan kisah nyata yang penuh dengan perasaan, akan tetapi juga diperkuat oleh naskah yang mengandung unsur linguistik yang tinggi. Kekuatan emosional film ini menjadi bukti keberhasilan dalam menghadirkan bahasa yang autentik. dan ragam bahasa personal yang berhasil menciptakan suatu kedekatan antara Albi dan Shella. Di sisi lain, bahasa komisif yang bersifat performatif menentukan jalan cerita karakter dan membangkitkan harapan para penonton, serta ditambah dengan bahasa nonverbal yang menjadi penyeimbang alur cerita film ini.
Film “Sampai Titik Terakhirmu” mengajarkan bahwa kesetiaan cinta yang abadi tidak dibangun dengan kata-kata manis semata. Melainkan dibangun dengan komitmen atau janji yang sudah diucapkan dan keberanian untuk tetap setia juga ketika keadaan sudah tidak lagi mudah. Dialog dalam film ini memperlihatkan bagaimana pemilihan diksi sederhana yang dapat menjadi jembatan paling tulus antara dua hati. Oleh karena itu, jangan lupa saksikan film “Sampai Titik Terakhirmu” yang telah tayang di bioskop pada tanggal 13 November 2025. (*)
*) Penulis: Muhammad Rizki Syafa’at, Mahasiswa UIN Syarief Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Prodi PBA.
**) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.
