![]() |
Ilustrasi sedih (Pixabay). |
HARIANCENDEKIA, ARTIKEL - Tradisi takbiran memiliki akar yang kuat dalam sejarah Islam. Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk mengumandangkan takbir sebagai bentuk pengagungan kepada Allah SWT saat menyambut hari raya Idul Fitri.
Di Indonesia, tradisi ini berkembang dengan berbagai ekspresi budaya, seperti pawai obor dan tabuhan bedug, yang menambah semarak suasana malam takbiran. Namun, di balik kemeriahan tersebut, bagi sebagian individu, gema takbir justru menjadi pemicu refleksi pribadi yang mendalam, dan sering kali mengundang air mata.
Salah satu alasan umum yang menyebabkan seseorang menangis saat mendengar takbiran adalah perasaan sedih karena berpisah dengan bulan suci Ramadan. Berakhirnya bulan ini sering kali menimbulkan rasa kehilangan yang mendalam, mengingat kesempatan untuk meraih pahala berlimpah telah usai.
Selain itu, takbiran juga dapat membangkitkan kenangan akan keluarga atau orang-orang terkasih yang telah meninggal dunia. Hari raya Idul Fitri biasanya identik dengan kebersamaan dan silaturahmi keluarga. Bagi mereka yang kehilangan anggota keluarga, momen takbiran dapat menjadi pengingat akan absennya sosok-sosok penting dalam hidup mereka.
Bagi perantau yang tidak bisa pulang kampung untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga, takbiran menjadi momen yang mengaduk perasaan. Suara takbir yang menggema mengingatkan mereka pada suasana kampung halaman dan kebersamaan keluarga yang tidak dapat mereka rasakan secara langsung.
Takbiran bukan sekadar seruan kemenangan, tetapi juga cermin perjalanan spiritual dan emosional bagi setiap individu. Bagi yang merindu, takbir adalah pelipur lara; bagi yang merasa kehilangan, ia adalah penguat jiwa. Sedangkan bagi semua, ia adalah panggilan untuk terus mendekat kepada-Nya, dalam suka maupun duka.
*) Penulis: Muhammad Dzunnurain, Founder of Newsroom Citizen Community.
*) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi.