![]() |
Yayang Nanda Budiman, S.H., Lawyer Intern LBH DPN Indonesia, Kolumnis & Legal Content Writer. |
Praktik represifitas yang mewarnai aksi buruh tahun ini menambah catatan panjang persoalan ketenagakerjaan yang sama sekali tak pernah terselesaikan. Angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang kian mengalami peningkatan serta segudang produk kebijakan yang dianggap tak berpihak pada buruh menjadi pemantik ketegangan sosial yang tak pernah padam.
Situasi ini semakin mempertegas bahwa persoalan buruh tidak lagi semata-mata soal ekonomi, melainkan juga menyangkut hak untuk bersuara dan mempertahankan ruang demokrasi yang semakin erosi.
Hari Buruh 2025 menjadi momen refleksi yang sangat relevan, di tengah ancaman gelombang PHK yang terus-menerus menggentayangi keberlangsungan hidup buruh dan keluarganya. Serupa tema “Buruh dan Rakyat Bersatu: Lawan Badai PHK, Wujudkan Supremasi Sipil, dan Tegakkan Hak Asasi Manusia!” bukan sekedar slogan hampa, melainkan seruan nyata untuk memperkuat solidaritas diantara kelas pekerja dan seluruh elemen sipil dalam menghadapi kecongkakan sistem ekonomi kapitalistik yang dinilai semakin eksploitatif dan menindas.
Sejumlah peristiwa yang telah dialami buruh saat ini sesungguhnya merupakan representatif dari keadaan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi global dan domestik, memperkuat gerakan kolektif sipil menjadi jalan alternatif untuk mempertahankan seperangkat hak fundamental yang tak pernah diwujudkan oleh negara.
Realitas Badai PHK dan Janji Lapangan Kerja yang Tak Terlaksana
Pemerintah Indonesia masih tengah dihadapkan pada gelombang PHK yang kembali mengalami peningkatan signifikan pada awal 2025. Hal itu semakin diperkeruh dengan temuan Badan Pusat Statistik (BPS) menyoal angka pengangguran yang mencapai 7,28 juta orang per Februari 2025. Namun, situasi ini tampak semakin kontras dengan janji kampanye yang pernah disampaikan oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang berkomitmen membuka 19 juta lapangan kerja.
Data trend PHK selama lima tahun terakhir memperlihatkan dinamika yang cukup riskan. Pada 2020 saja, angka itu mencapai 3,6 juta orang, meski sempat menurun hingga 2023. Namun, pada 2024 terjadi lompatan yang sangat drastis, dengan 80 ribu pekerja terdampak PHK.
Kondisi ini konsisten hingga awal 2025, di mana hingga Februari sudah tercatat setidaknya 18.610 pekerja mengalami PHK yang serupa. Sektor manufaktur menjadi industri yang paling terdampak. Salah satu kasus terbesar terjadi di PT Sri Rejeki Isman (Sritex), perusahaan tekstil raksasa yang telah merumahkan lebih dari 10 ribu pekerja.
Dalam konteks wilayah, Provinsi Jawa Tengah menjadi daerah dengan angka PHK tertinggi, yakni 10.677 pekerja, disusul oleh Riau dengan 3.530 pekerja, dan DKI Jakarta dengan 2.650 pekerja. Gelombang PHK yang masih terjadi hingga hari ini tidak hanya berdampak pada stabilitas ekonomi keluarga pekerja, tetapi juga menjadi ujian serius untuk pemerintah dalam membuktikan komitmen mereka terhadap penyediaan lapangan kerja dan perlindungan yang berkeadilan.
Buruh Mendesak, Pemerintah Tersedak?
Di tengah badai PHK yang terus bergulir, suara buruh di hampir seluruh wilayah di Indonesia semakin menguat dalam aksi peringatan Hari Buruh 2025. Dalam momentum tersebut, terdapat setidaknya enam tuntutan utama yang disuarakan: penghapusan praktik outsourcing, pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK untuk melindungi buruh terdampak, pemberian upah layak, penyusunan ulang RUU ketenagakerjaan di luar skema omnibus law, perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga (PPRT), serta pemberantasan korupsi melalui pengesahan RUU Perampasan Aset yang hingga detik ini tak juga dibahas secara serius.
Dengan praktik legislasi yang dilakukan secara ugal-ugalan, kebijakan pemerintah yang selama ini dirancang dan diberlakukan dinilai berpihak pada kepentingan oligarki, pemodal dan hanya berorientasi pada akumulasi kapital memicu kemarahan buruh. Selain persoalan PHK, berbagai pelanggaran terhadap hak buruh masih marak terjadi. Pelanggaran batas jam kerja, hak atas pesangon yang layak, hak cuti sakit atau melahirkan bagi pekerja perempuan, praktik ageisme atau batasan usia pekerja, hingga rendahnya tingkat upah bagi karyawan swasta, guru, tenaga kesehatan dan kelompok buruh lainnya dibandingkan dengan standar negara lainnya.
Menyikapi gelombang tuntutan ini, Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya dihadapan ribuan buruh mengakui bahwa sektor ketenagakerjaan merupakan tantangan serius yang perlu segera dibenahi. Ia berjanji akan menarik kembali aset negara yang dikorupsi, menghapus sistem outsourcing, serta memperbaiki kualitas hidup buruh melalui peningkatan upah minimum hingga penguatan perlindungan sosial.
Serupa obat pereda sementara, keraguan masih tetap membayangi para pekerja. Meski nampak baru, rekam jejak pemerintahan sebelumnya yang lebih menitikberatkan pada kepentingan investasi membuat sebagian besar buruh dan sipil mempertanyakan realitas segudang janji pemerintah di tangan Prabowo-Gibran.
Selain itu, kompleksitas masalah perburuhan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Dunia usaha pun memegang andil penting: bagaimana perusahaan menyikapi krisis, menerjemahkan konsep efisiensi, dan mengelola sumber daya manusia secara lebih manusiawi akan sangat menentukan masa depan buruh yang lebih baik.
Meredam Gelombang PHK Melalui Kebijakan Kolaboratif
Masih di tengah euforia Hari Buruh, PHK kini menjadi tantangan multidimensi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Fenomena ini tidak semata dipicu oleh perlambatan ekonomi, melainkan juga dipengaruhi oleh dinamika teknologi, kebijakan pemerintah, hingga gejolak eksternal seperti pandemi, perang antar-negara dan ketidakpastian global.
Dalam beberapa tahun terakhir, trend perburuhan di Indonesia masih memperlihatkan betapa keroposnya posisi buruh di tengah perubahan yang serba cepat. Gelombang PHK tidak hanya memukul individu pekerja, tetapi turut menggerogoti kondisi ekonomi nasional dan merapuhkan fondasi sosial masyarakat.
Menyikapi situasi ini, diperlakukan pendekatan komprehensif yang melibatkan kolaborasi erat antara pemerintah, dunia usaha dan pekerja itu sendiri. Pemerintah harus berhenti memproduksi kebijakan yang terus-menerus merugikan rakyat, perkuat perlindungan buruh yang adaptif terhadap perubahan zaman, sementara dunia usaha mesti didorong untuk menginterpretasikan konsep efisiensi dengan lebih manusiawi, konsensual, bukan sekedar hanya untuk merampingkan porsi tenaga kerja.
Di lain upaya, pelatihan tenaga kerja menjadi kata kunci yang penting dalam menata ulang daya saing baru. Program peningkatan keterampilan harus diperluas, sehingga pekerja mampu beradaptasi dengan kebutuhan industri di masa depan. Sementara itu, perusahaan juga harus memandang bahwa sumber daya manusia bukan sekedar biaya atau sekrup-sekrup pabrik, melainkan aset utama dalam mempertahankan keberlangsungan iklim bisnis yang baik.
Bercermin dari apa yang kita saksikan saat ini, gelombang PHK adalah sinyal bahwa ekosistem ketenagakerjaan kita memerlukan pembenahan yang serius. Melalui langkah strategi dan kolaborasi lintas sektoral, tenaga kerja Indonesia tidak hanya akan lebih terproteksi hak-haknya, tetapi juga mampu berkontribusi secara optimal bagi pembangunan nasional, meski segudang tantangan akan terus datang silih berganti. (*)
***
*) Penulis: Yayang Nanda Budiman, S.H., Lawyer Intern LBH DPN Indonesia, Kolumnis & Legal Content Writer.
*) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi.
**) Update Info Terbaru HARIAN CENDEKIA
Saluran WhatsApp: bit.ly/WAhariancendekia
YouTube: bit.ly/YThariancendekia
Instagram: bit.ly/IGhariancendekia
TikTok: bit.ly/TThariancendekia