zmedia

Kholisatul Hasanah: Kopri Harus Jadi Patron Gerakan Perempuan dan Sosial

(Doc. Istimewa) Khalisatul Hasanah ketua KOPRI PKC PMII terpilih 2025-2027
HARIANCENDEKIA, MALANG - Kholisatul Hasanah, atau yang akrab disapa Lisa, resmi terpilih sebagai Ketua KOPRI Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII Jawa Timur. Dalam podcast Komentator di kanal youtube Roominesia, Lisa membagikan gagasannya tentang arah baru gerakan perempuan yang lebih progresif dan kontekstual dengan isu-isu sosial dan lingkungan.

Ia menyebut bahwa feminisme hari ini tak bisa dilepaskan dari realitas sosial masyarakat, mulai dari stunting, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual (KS), hingga ketimpangan lingkungan.

“Lingkungan kita itu bahkan seperti stunting, KDRT, KS itu juga masuk dalam feminisme sebenarnya. Tapi lebih luasnya karena paham tersebut memang diperuntukkan untuk bagaimana perempuan bisa merespons ketimpangan sosial yang ada,” teganya.

Ia memperkenalkan gagasan bernama ekomunisme, sebuah pendekatan yang menggabungkan perjuangan perempuan dan kepedulian terhadap lingkungan.

Dengan tagline “percepatan”, Lisa ingin mendorong Kopri Jatim menjadi pelopor gerakan yang responsif terhadap berbagai ketimpangan. Salah satu metode yang ditawarkan adalah konsolidasi kolektif. 

Menurutnya, Kopri PKC tidak bisa mengintervensi langsung semua cabang, tetapi harus menjadi stimulator atas persoalan yang ada. Ia menyebut kekerasan seksual sebagai contoh isu yang nyaris ada di setiap cabang. Jika setiap zona mampu menyuarakan isu yang sama dan mengonsolidasikannya hingga ke kebijakan, maka akan muncul gerakan yang masif dan berdampak.

“Saya yakin Kopri-Kopri itu sadar semua soal isu-isu itu. Karena kita sudah keliling 31 cabang, menyelami budaya, permasalahan, hingga kondisi akar rumput,” katanya.

Lisa menceritakan bahwa ia pernah memimpin aksi hearing ke DPRD hanya tiga hari setelah dilantik menjadi ketua Kopri cabang Jember untuk mendesak agar ada regulasi Kabupaten Layak Anak. Menurutnya, gerakan semacam itu harus terus dikawal dan ditularkan.

Dalam pandangannya, Kopri perlu bertransformasi dari organisasi struktural menjadi organisasi yang adaptif dan responsif. Lisa menyebut bahwa salah satu persoalan besar hari ini adalah kader yang sering kali kebingungan setelah mengikuti pelatihan. 

“Selama ini kita panggil kader ke pelatihan, habis itu enggak tahu mau ke mana. Kita coba balik logikanya: cari potensi dulu, baru panggil kader. Bukan sebaliknya,” ujarnya.

Dalam hal kaderisasi, Lisa menggarisbawahi pentingnya Kopri memiliki patron gerakan. Ia mencontohkan Mahbub Djunaidi di PMII yang dikenal dengan pendekar pena sebagai patron gerakan kepenulisan dan kritik sosial. 

“Kita bahkan enggak tahu siapa pendiri Kopri. Belum pernah ada patron gerakan Kopri yang dijadikan doktrinasi. Ini yang ingin saya bangun di Jawa Timur,” tegasnya. 

Lisa mengusulkan agar setiap cabang menyetorkan satu nama tokoh perempuan untuk ditokohkan sebagai inspirasi gerakan kader.

Ia juga menyoroti pentingnya konsolidasi berdasarkan zona, bukan lagi hanya mengundang ke Surabaya.

"Kalau kita konsolidasi berbasis zona dan dilakukan dua sampai tiga kali putaran dalam satu periode, saya kira cukup untuk mengontrol dan menyatukan gerakan,” ujarnya. 

Selain itu, Lisa mengangkat isu lain yang sering muncul dari daerah, yakni tentang minimnya distribusi potensi dan peluang. Menurutnya, PKC harus mampu menjembatani potensi lokal dengan kader-kader yang tepat.

Soal kaderisasi, Lisa memiliki visi menjadikan Kopri Jatim sebagai katalisator ketokohan perempuan. Ia juga menekankan pentingnya kemandirian administrasi dan manajemen organisasi. 

“Karena kader Kopri mayoritas perempuan, kita harus bisa membentuk habit yang mendukung kepemimpinan mereka. Internalisasi nilai-nilai kepemimpinan itu penting, bukan hanya struktural,” ujarnya.

Ketika ditanya antara memilih kualitas atau kuantitas kader, Lisa menjawab bahwa keduanya harus seimbang.

“Eksistensi tanpa substansi itu omong kosong. Tapi substansi tanpa eksistensi juga tidak akan punya dampak. Harus balance,” ucapnya.

Di akhir wawancara, Lisa menekankan bahwa tantangan utama ke depan adalah menjaga Kopri Jatim tetap sebagai patron gerakan nasional.

“Kita tidak boleh bernina-bobo dengan fenomena yang ada. Harus tetap adaptif dan terus menjaga kealamian ide dan gagasan khas Jawa Timur,” tutupnya dengan penuh keyakinan. (*)

*) Pewarta: A. Fauzi
**)  Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.
ADVERTISMENTADVERTISMENT