![]() |
| Thomas Elisa, Guru SMK Mikael Solo |
Secara ringkas, dapat dikisahkan sosok Machiavelli sebagai orang yang berlatar belakang keluarga bangsawan. Pada kurun waktu 1498, ia mulai aktif di dunia politik dengan bertemu banyak tokoh penting di Eropa. Hingga pada tahun 1512, Machiavelli mengalami penangkapan pada era Medici dan diasingkan. Fase tersebut menjadi masa yang berat dalam hidupnya. Akan tetapi, justru dari fase itulah karya-karya masterpiece Machiavelli lahir.
Salah satu karya populer yang dihasilkan beliau adalah The Prince yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Dalam buku tersebut, Machiavelli menyampaikan berbagai ide menarik tentang kepemimpinan dan kekuasaan. Ia mencetuskan sebuah konsep politik dan kekuasaan yang dikenal sebagai politik praktis, dengan penekanan pada hasil dan tujuan tanpa harus sibuk dengan nilai ideologi. Machiavelli berpendapat bahwa hasil dan tujuan lebih penting dibandingkan dengan proses dan tata nilai. Politik harus realistis pada segi situasi, dan dari situasi itulah berbagai cara dapat dilakukan asalkan tujuan untuk berkuasa bisa tercapai.
Pandangan politik praktis dan cenderung pragmatis ini banyak ditentang oleh tokoh-tokoh lain seperti Montesquieu. Menurut Montesquieu, tanpa adanya nilai dan moralitas, politik yang demikian akan menghasilkan tirani. Akan tetapi, bila kita berefleksi lebih jauh, barangkali ada tujuan tertentu mengapa pandangan politik praktis-pragmatis dicetuskan oleh Machiavelli. Seperti pose patungnya yang tampak sedang berpikir, Machiavelli seolah memberikan pesan kepada kita untuk merenungkan lebih jauh mengenai politik praktis dan pragmatis yang ia gagas.
Machiavelli memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki citra yang cenderung buruk dan negatif. Ia menggambarkan manusia sebagai makhluk yang tamak, ingin keuntungan bagi dirinya sendiri, ingin segera lepas dari masalah, serta tidak tahu berterima kasih. Konsep negatif perilaku manusia inilah yang barangkali membuat manusia, dalam mencapai kekuasaan politik, kerap mengabaikan nilai dan norma demi hasil yang ingin dicapai. Pandangan ini seolah menjadi antitesis perilaku politik yang ideal. Seiring berjalannya waktu, pandangan Machiavelli banyak mendapat pertentangan. Namun demikian, justru banyak elite politik yang kian terjebak pada konsep politik praktis-pragmatis: asal tujuan tercapai tanpa memperhatikan sisi moral dan nilai.
Hari-hari ini, kita jamak menjumpai praktik politik kekuasaan yang serupa. Fenomena-fenomena yang muncul menjelaskan hal tersebut. Peristiwa di kota Pati, misalnya, memperlihatkan bagaimana kebijakan-kebijakan yang memberatkan masyarakat tak ubahnya cara untuk mencapai tujuan politik pihak-pihak tertentu. Sementara itu, masyarakat kian terjepit dan tidak bisa bergerak bebas. Sebaliknya, para elite politik sering kali membuat kebijakan yang menguntungkan dan memudahkan bagi dirinya sendiri. Di sinilah, mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa sisi politik praktis-pragmatis memang mengemuka. Pendapat Machiavelli mengenai keburukan manusia dan praktik politik menjadi benar adanya, nyata dalam kehidupan kita. Puncaknya, sentimen publik terhadap elite kekuasaan menjadi berlipat ganda.
Gagasan Machiavelli yang dulunya dikritik dan diolok kini patut direnungkan bersama. Pertanyaan besarnya adalah: maukah kita mengakui dimensi negatif manusia yang ada pada diri kita? Beranikah kita mengakui ketamakan kita, sisi mementingkan diri sendiri, dan sikap tidak tahu terima kasih kita? Kemudian, beranikah kita menanggalkan itu semua dan memilih cara yang lebih bermartabat dalam mencapai kekuasaan serta berdinamika dalam dunia politik?
Patung Machiavelli yang sudah berabad-abad berdiri masih menampilkan pose sang filsuf yang sedang bertopang dagu. Seolah menyampaikan pesan mengenai gagasan-gagasannya yang perlu direfleksikan dan ditimbang-timbang. Pada dasarnya, kita semua memiliki potensi menjadi orang-orang seperti yang dipaparkan oleh Machiavelli: orang-orang yang serakah, orang-orang yang menonjolkan kepentingan pribadi, serta orang-orang yang berpeluang menjadi pelaku politik praktis dan pragmatis. Kita perlu belajar secara bijak dari Machiavelli untuk berani mengakui borok dan bobroknya pragmatisme politik, lalu berbenah menjadi lebih baik. (*)
Daftar Referensi
Machiavelli, Niccolò. (2013). Il Principe (Sang Pangeran) (Terjemahan). Jakarta: Gramedia.
*) Penulis: Thomas Elisa, Guru SMK Mikael Solo.
**) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.
