zmedia

Lemahnya Politik Etis Dalam Kekuasaan Kehakiman

Moh. Rusydi, Pemerhati, Pembelajar Hukum dan Penyunting Naskah di Edisi Mori
HARIANCENDEKIA, OPINI - Sejak awal, penyelenggaraan lembaga peradilan didirikan untuk menyelesaikan hukum murni dari konflik antarkelompok masyarakat serta antara lembaga negara dan perusahaan atau organisasi independen. Keberadaannya diharapkan mampu memberikan putusan yang tepat (judex jurist) terhadap suatu sengketa serta menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul akibat kepentingan dan konflik berantai dalam masyarakat itu sendiri.

Seiring waktu, sistem peradilan berkembang bersamaan dengan perbaikan internal kelembagaan birokrasi. Pemetaan kewenangan dalam kelembagaan mulai terjadi, mencakup pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, pengadilan militer, pengadilan etik, hingga pengadilan kasasi sebagai tingkat terakhir. Meskipun memiliki wilayah kewenangan yang berbeda, tujuan utama dari seluruh tingkatan ini tetap sama, yaitu menghadirkan keadilan etis bagi masyarakat dan dalam relasi antar-norma peraturan yang berbeda.

Standarisasi kelembagaan birokrasi modern membentuk struktur yang cenderung kodifikatif, sehingga tetap menjamin kepastian hukum. Namun, di sisi lain, hal ini juga dapat menjadi hambatan bagi kemurnian kerja hakim dalam menghadapi kasus yang kompleks. Oleh karena itu, diperlukan model tertentu dalam membentuk kesepakatan bersama. Di sinilah kekuasaan kehakiman perlu didasarkan pada politik etik guna memperkuat dan menghasilkan putusan yang tepat (judex jurist). Politik etik adalah pendekatan individu dalam menghadapi kewenangan, aturan dasar, serta keseimbangan sistem yang layak. Dalam wilayah kewenangan, hakim sebagai individu harus memiliki nilai etis untuk membentuk politik etik yang kuat dalam kapasitas dan kapabilitas hukum. Dalam aturan dasar, diperlukan kajian ulang terhadap regulasi penting sebagai pijakan putusan agar dapat menemukan aturan yang etis, pasti, bermanfaat, dan berkeadilan. Dari sini, sistem, model, dan pola hukum yang lebih bersih akan terbentuk secara alami.

Dalam praktiknya, lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami stagnasi dalam perbaikannya sebagai lembaga hukum. Padahal, hukum tidak boleh stagnan dan harus terus berkembang seiring dinamika masyarakat. Jika terjadi stagnasi, maka penegakan hukum akan berjalan lamban, yang pada akhirnya membuka celah bagi praktik korupsi di kalangan hakim, jual beli kasus, serta putusan pengadilan yang tidak tepat. Sejak awal, kodifikasi hukum telah menjadi masalah, sebab masyarakat dan kejahatan terus berkembang, sementara hukum mengalami kristalisasi atau pembekuan tanpa menyesuaikan diri dengan kemajuan masyarakat. Hal ini menjadi beban dan momok bagi masyarakat, yang pada akhirnya menurunkan kepercayaan terhadap kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum secara umum.

Sebagai corong keadilan, hakim memegang peran penting dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengadilan dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Lalu, bagaimana politik etis dapat dirumuskan untuk melahirkan keadilan etis oleh hakim?

Emammanuel Levinas memiliki cara pandang radikal dalam mencari keadilan bersama Yang-Lain, ketidakterbatasan (infinity) merupakan cara pandang terhadap diluar diri kita, yang lain, yang tidak tereduksi terhadap ego ataupun keberpihakan kita pada diluar dirikita  merupakan prinsip penting dalam mengahadapi suatu kepentingan yang berkaki, yang lain memiliki kepentingan yang penting dari pada wajah (face) semata, bisa jadi keberaran itu sendiri, tetapi jika berpandang pada wajah—kepemilikan bisa jadi yang lain memiliki bentuk yang berbeda-beda, bisa jadi mereka ingin menyogok, mengkorupsi, memiliki kepentingan yang akan merugikan yang lainnya.

Dalam konteks pengadilan, sang Aku dapat direduksi menjadi hakim sebagai entitas utama dalam menegakkan keadilan. Bagi Levinas, pendekatan filosofis tidak bisa dimulai dengan ontologi ala filsafat Barat, yang cenderung mencari, menemukan, dan mereduksi sesuatu demi kekuasaan. Sebaliknya, Levinas menawarkan pendekatan etis sebagai langkah awal dalam berpikir dan menemukan solusi. Pendekatan etis memungkinkan pemberian ruang bagi pihak lain tanpa mencampuri aspek hukum mereka. Dalam penegakan hukum, pendekatan ini tidak hanya berfokus pada kepastian aturan, tetapi juga memperhitungkan aspek etis, meskipun pelaku secara hukum dianggap bersalah. Dengan demikian, pendekatan etis-proporsional menjadi penting dalam membangun tanggung jawab totalitas.

Dalam hal ini, sikap murah hati (generosity), belas kasih (charity), dan pemberian (gift) tidak lagi cukup untuk mencari keadilan. Keadilan membutuhkan tanggung jawab totalitas yang mencakup lebih dari sekadar satu individu atau satu pihak lain. Relasi totalitas adalah hubungan intersubjektivitas, di mana hakim harus memperlakukan semua pihak secara adil tanpa memihak atau bertindak sewenang-wenang. Pandangan hakim terhadap pihak lain serta interaksi yang melibatkan semua elemen dalam persidangan sangat menentukan dalam menegakkan keadilan. Hanya melalui cara pandang yang totalitas, keadilan dapat dicapai melalui gugahan momen-etis dalam mereduksi fakta-fakta ke dalam keadilan yang hakiki.

Menurut Etienne Balibar, politik seharusnya tidak hanya difokuskan untuk menjadikan kekerasan sebagai kejahatan fundamental, tetapi juga dalam mengelola dan mendistribusikan bentuk-bentuk taktik manajerial biopolitik. Hal ini dapat dilakukan melalui tatanan politik yang disiplin terhadap populasi, termasuk di dalamnya penuntut umum, kuasa hukum, panitera, terdakwa, dan pelapor.

Melalui tatanan politik liberal, seharusnya sistem dapat membangun dan melembagakan konsep "kesopanan" sebagai prinsip dasar. Namun, hal ini memunculkan pertanyaan strategis: di manakah tempat bagi keadilan dan politik? Secara mendasar, jawabannya adalah di pengadilan. Di sanalah inti dari keberadaan berbagai lembaga lain. Dengan membangun dan melembagakan kesopanan serta menerapkan nilai-nilai politik sebagaimana yang dikemukakan Balibar, keadilan dapat ditegakkan dengan lebih baik.

Namun, pendekatan terhadap pengakuan moral politik bisa saja gagal jika hakim tidak memiliki kepedulian terhadap perbuatan jahat dan justru memiliki ego yang mengutamakan kepentingan tertentu. Jika ruang keadilan hanya dijadikan sebagai ajang transaksi kepentingan tanpa mempertimbangkan keadilan substantif, maka hukum akan kehilangan esensinya. Oleh karena itu, rasa malu harus menjadi elemen penting dalam diri hakim ketika berhadapan dengan kepentingan yang kompleks. Simpati dan peran potensial dalam etika dan politik menjadi aspek utama dalam melahirkan keadilan oleh hakim.

Jika keadilan dalam politik memang diperlukan, maka keadilan itu tidak boleh diperoleh melalui akomodasi yang bersifat kalkulatif, terutama ketika berhadapan dengan kesewenang-wenangan. Politik sering kali membungkus dirinya sendiri dalam berbagai versi yang saling menguntungkan kepentingan tertentu. Oleh karena itu, penting bagi hakim untuk memiliki rasa malu yang dilandasi belas kasih (charity), yang memperhatikan pihak lain tanpa tunduk pada kepentingan transaksional. Bahkan dalam menghadapi kejahatan, keadilan harus tetap mempertimbangkan aspek kerentanan, kecacatan, dan perbedaan individu. Keadilan yang penuh belas kasih hanya dapat muncul melalui semangat totalitas, yakni kemampuan untuk menanggung beban keadilan dengan tetap bersikap ramah kepada pihak lain, bahkan ketika pihak tersebut bersalah dan patut merasa malu atas kesalahannya.

DAFTAR PUSTAKA
David Tobing, (2018), Mencari Keadilan Besama Yang-Lain Pandangan Etis-Politis Emmanuel Levinas, Aurora, Yogyakarta.

Steve Larocco, (2018), The Other, Shame, and Politics: Levinas, Justice, and Feeling Responsible, Jurnal Religions, New Haven.

*) Penulis: Moh. Rusydi, Seorang Pemerhati, Pembelajar Hukum dan Penyunting Naskah di Edisi Mori.
*) Seluruh isi berita, artikel, opini sepenuhnya tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi.
**) Dapatkan akses informasi HARIAN CENDEKIA lebih mudah dan cepat di Saluran WhatsApp dan Instagram, jangan lupa di follow.