![]() |
Muhammad Dzunnurain, Founder of Newsroom Citizen Community. |
Skandal ini bukan hanya soal BBM aspal (asli tapi palsu), tapi juga cerita tentang bagaimana perusahaan BUMN mengorbankan mitra kecilnya demi mengejar untung. Bisnis Pertashop mati suri, konsumen marah, sementara direksi Pertamina seolah bisa cuci tangan.
Bayangkan jadi pemilik Pertashop. Anda diberi izin dan logo Pertamina, lalu diberi jatah menjual BBM berkualitas. Tapi tiba-tiba, konsumen ramai-ramai protes karena Pertamax yang mereka beli ternyata oplosan. Tak ada yang mau lagi datang ke kios Anda. Omset merosot 70-80%, pegawai terpaksa dirumahkan, dan stok BBM menganggur.
Padahal, Anda bukan pelaku pengoplosan. Anda hanya korban yang terjepit: di satu sisi, harus setia pada Pertamina sebagai mitra; di sisi lain, dituduh sebagai penipu oleh pelanggan. “Saya ini cuma ingin usaha, kok malah jadi kambing hitam?” keluh seorang pemilik Pertashop dilansir di artikel Mojok.co.
Masalahnya, pengoplosan ini bukan kesalahan karyawan SPBU nakal. Menurut berita yang beredar, praktik ini terstruktur dan melibatkan oknum di internal Pertamina. Motifnya sederhana: Pertalite lebih murah lalu mencampurnya ke Pertamax. Perusahaan bisa mengeruk keuntungan lebih besar tanpa peduli risiko. Ini bukan kali pertama Pertamina bermasalah dengan korupsi. Sejak dulu, BUMN ini seperti kebun binatang para mafia migas: proyek LNG, pengadaan alat berat, hingga skandal suap. Tapi kali ini, korbannya bukan uang negara, melainkan usaha kecil dan kepercayaan publik.
Konsumen pun tak mau diam. Banyak yang kini ogah beli Pertamax dan lebih memilih Pertalite atau SPBU swasta. “Kalau Pertamina sendiri saja curang, buat apa beli produk mereka?” tulis seorang netizen. Di media sosial, tagar #pertamaxoplosan ramai jadi sindiran. Ironisnya, Pertamina justru berkilah bahwa pengoplosan terjadi “hanya di beberapa titik”. Padahal, bagi rakyat, satu kali bohong saja cukup untuk menghancurkan kepercayaan.
Lalu, apa solusinya? Pertama, Pertamina harus berani audit terbuka. Jangan cuma menghukum sopir truk atau mandor SPBU, tapi usut sampai ke level direksi yang membiarkan praktik ini. Kedua, berikan kompensasi pada pemilik Pertashop yang bisnisnya kolaps akibat ulah oknum perusahaan. Ketiga, pemerintah harus turun tangan. Selama ini, Pertamina dianggap “anak emas” yang kebal kritik. Padahal, sebagai BUMN, mereka wajib mengutamakan kepentingan rakyat, bukan malah menyengsarakan UMKM.
Di akhir cerita, yang tersisa adalah pertanyaan: sampai kapan rakyat kecil harus jadi korban keserakahan korporasi? Pemilik Pertashop sudah menderita, konsumen kecewa, sementara direksi Pertamina mungkin masih bisa tidur nyenyak. Tapi sejarah membuktikan: kepercayaan yang sekali dihancurkan, butuh puluhan tahun untuk dibangun kembali. Pertamina, maukah Anda belajar dari kesalahan? Atau tetap memilih jadi “bajingan” di mata rakyat sendiri?