Kayu Diam, Angin Mengguncang
Kayu diam, tak bersuara,
berdiri tegak di tengah samudra udara.
Akar dalam, jiwa tenang,
meski angin datang dengan teriakan panjang.
Angin menderu, liar dan garang,
menggoda ranting, mencabik bayang.
Namun kayu tak goyah, tak gentar,
diamnya bukan lemah, tapi sabar.
Ia tahu badai hanya tamu,
datang sekejap, lalu berlalu.
Bukan suara yang menunjuk kuat,
tapi tenang di kala ribut lewat.
Malang, 2025
Alam yang Sunyi
Di balik lembah yang tak bersuara,
angin berbisik pelan pada dedaunan tua.
Langit memudar, senja mulai menjingga,
membalut bumi dalam damai yang nyata.
Burung tak lagi bernyanyi nyaring,
hanya gema hati yang terus bergeming.
Pepohonan berdiri dalam diam,
menyimpan rahasia dalam cahaya kelam.
Sunyi bukan hampa, bukan luka,
tapi pelukan alam yang sederhana.
Dalam sepi, kutemukan makna,
tentang hidup, tentang jiwa, tentang cinta.
Langkahku ringan di atas rerumputan,
tak ingin mengganggu ketenangan alam.
Hanya ingin menyatu, menjadi bagian,
dari sunyi yang agung, tanpa tekanan.
Malang, 2025
Laut Menyatukan Bumi
Laut bukan sekadar bentang biru,
ia nadi yang mengalir di antara benua,
hembus napas purba yang tak pernah jemu,
merangkul daratan dalam pelukannya yang luas dan tua.
Ia bisikkan cerita dari timur ke barat,
tentang angin yang tak mengenal batas,
tentang perahu-perahu kecil yang menantang gelombang,
dan manusia yang mencari makna dalam derasnya arus.
Laut menyatukan pasir yang berbeda warna,
mendamaikan pulau-pulau dalam gelora rasa,
menjadi cermin langit dan saksi waktu,
bahwa bumi bukan sekat, tapi satu.
Di setiap ombaknya, ada salam dari jauh,
di setiap pasang, ada harap yang luluh,
laut tak pernah pilih kasih —
ia rumah bagi semua, penyatu yang tak terusik.
Malang, 2025
*) Ahmad Rizal, kelahiran Republik Pulau Raas Sumenep, Madura. Saat ini sedang menempuh Pendidikan Pascasarjana di Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang, Fakultas Ekonomi Bisnis Islam.
