zmedia

Masyarakat Biasa Hanyalah Sampah Bagi Penguasa

M. Fauzan Firjatullah
HARIANCENDEKIA, OPINI - Salah satu ironi paling menyakitkan dalam demokrasi hari ini adalah pernyataan bahwa mahasiswa, LSM, dan aktivis tidak memiliki "legal standing" untuk menggugat Undang-Undang TNI. Ini bukan sekadar persoalan hukum tata negara, melainkan cerminan bagaimana negara mulai menutup pintu terhadap partisipasi warga. Ketika mereka yang tidak punya kekuasaan formal dianggap tak sah memperkarakan undang-undang yang berdampak langsung pada masa depan sipil dan militer, maka kita sedang menyaksikan demokrasi dikerdilkan menjadi urusan elit semata.

Mahasiswa, LSM, dan aktivis adalah aktor penting dalam ekosistem demokrasi. Mereka menyeimbangkan kekuatan mereka daripada menghalangi sistem. Menolak gugatan mereka dengan alasan tidak memiliki kedudukan hukum adalah cara halus untuk membungkam kontrol sipil dan mengaburkan pertanggungjawaban. UU TNI menyangkut hubungan antara kekuasaan militer dan rakyat sipil—maka justru publik sipillah yang paling berhak mengujinya. Ketika DPR dan pemerintah bergegas untuk menutup revisi hukum, ketika banding warga negara dikatakan "tidak valid", siapa demokrasi ini?

Demokrasi bukan sekadar sistem politik—ia adalah kesepakatan hidup bersama yang dibangun di atas fondasi rasionalitas, kesetaraan, dan penghormatan terhadap kebebasan individu. Tapi dasar ini mulai keropos. Rasionalitas kalah oleh hoaks, kesetaraan digerus oleh ketimpangan sosial, dan kebebasan dibatasi oleh moralitas mayoritas yang dipaksakan. Demokrasi yang semestinya menjadi ruang dialog justru berubah menjadi arena saling tuding, saling bungkam, dan saling curiga. Kita menjalankan ritual demokrasi, tapi kehilangan jiwanya.

Hebat. Demokrasi kita benar-benar sudah naik kelas—bukan lagi milik rakyat, tapi milik mereka yang punya stempel kekuasaan. Mahasiswa, aktivis, dan LSM yang menggugat revisi UU TNI ke Mahkamah Konstitusi? Ah, katanya tidak punya kedudukan hukum. Luar biasa. Rupanya, untuk peduli pada negara ini, Anda harus punya jabatan resmi dulu. Mungkin baru setelah jadi menteri atau jenderal, Anda cukup sah untuk menyuarakan keresahan.

Ironis sekali: undang-undang yang akan berdampak langsung ke ruang sipil dan masa depan demokrasi, justru tak bisa digugat oleh sipil. Lalu siapa yang boleh? Hanya mereka yang berkuasa? Yang mengesahkan UU-nya sendiri? Kalau begitu, kita tunggu saja nanti: mungkin hanya DPR dan pemerintah yang berhak mengeluh saat UU itu keliru, dan rakyat cukup duduk manis sambil diberi tahu bahwa ini "demi stabilitas nasional". Stabilitas siapa dulu, memang?

Demokrasi bukan hanya tentang institusi formal, tapi juga soal ruang bagi warga untuk bersuara dan menggugat. Bila hukum hanya memihak pada pemegang kekuasaan, dan rakyat dilarang menuntut melalui jalur konstitusional, maka sesungguhnya bukan hukum yang sedang ditegakkan, tapi kekuasaan yang sedang dilindungi. Pengadilan konstitusi bukan benteng elite—ia adalah tempat rakyat menguji ulang keadilan. Menutup pintu itu berarti kita sedang membangun demokrasi yang sunyi: tanpa suara, tanpa kritik, tanpa rakyat. (*)

*) Penulis: M. Fauzan Firjatullah, Ketua BEM FIA UNISMA Periode 2025.
ADVERTISMENTADVERTISMENT