![]() |
Ardityya Hoswinandar, Kader PMII Rayon Cakrawala Universitas Muhammadiyah Malang |
Layaknya kolonialisme dan feodalisme kolot, kini PBNU berdiri seolah bukan lagi sebagai organisasi masyarakat yang menaungi kemaslahatan ummat, tapi organisasi yang menaungi gerakan oligarki pencipta krisis ekologi melalui kekuasaan spiritualitasnya. Dalam beberapa pekan lalu Ulil Abshar Abdalla atau dikenal Gus Ulil sempat menyatakan sebuah kalimat yang cukup ekstrim dan deskriminatif terhadap aktivis lingkungan tepatnya greenpeace, beliau mengatakan “orang yang terlalu berlebihan melestarikan lingkungan bisa di sebut wahabi lingkungan”
Tentu statement itu menjadi alarm terhadap moral spiritual PBNU dalam konteks penentuan sikap soal bahaya krisis ekologi dan dampak eksploitasi ruang hidup akar rumput, dengan demikian sepertinya PBNU perlu kembali mengkaji paradigma khas islam atau yang sering dikenal “Allah-sentris” dimana Allah menjadi pusat pengaturan alam semesta, selanjutnya PBNU juga harus kembali memusatkan prespektif kemaslahatannya dengan lebih holistik dan inklusif untuk menghindari miss persepsi yanh berpotensi menyesatkan dan menciptakan penderitaan publik akibat aktivitas tambang jika tidak dilakukan dengan bijak.
Oleh karena itu, sudah saatnya PBNU untuk introspeksi dan memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, PBNU dapat menjadi contoh bagi masyarakat tentang bagaimana kekuasaan dapat digunakan untuk kepentingan yang lebih baik dengan tetap memperhatikan kebutuhan manusia dan lingkungannya. (*)
*) Penulis: Ardityya Hoswinandar, Kader PMII Rayon Cakrawala Universitas Muhammadiyah Malang.