![]() |
Ahmad Rizal, Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Malang |
Secara ideal, PKL tidak seharusnya dipahami sekadar sebagai aktivitas rutin atau simbolik, melainkan sebagai tahap penting dalam pendewasaan nalar kritis, militansi pergerakan, dan komitmen terhadap transformasi sosial. Dalam konteks ini, muncul kekhawatiran bahwa pelaksanaan PKL kali ini lebih menekankan aspek formalitas dan dokumentasi ketimbang penguatan dialektika intelektual dan pematangan ideologis.
Pemilihan lokasi di Kecamatan Genteng, meskipun dinilai strategis secara logistik, masih menyisakan pertanyaan terkait kemampuannya dalam menciptakan ruang yang kondusif bagi pembentukan atmosfer diskusi yang kritis dan reflektif. Waktu yang terbatas dan kecenderungan teknokratis dalam pelaksanaan kegiatan cenderung menghambat proses eksploratif yang seharusnya menjadi karakter utama PKL.
Dari segi substansi, materi yang disampaikan dinilai masih bersifat normatif dan kurang inovatif. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai keberanian PMII dalam mendorong kader untuk keluar dari zona nyaman berpikir serta membuka ruang pembaharuan pemikiran dalam tubuh organisasi. Jika materi hanya mengulang narasi lama tanpa kritik dan pengembangan wacana, maka proses kaderisasi berisiko mengalami stagnasi.
Lebih jauh, kaderisasi semestinya dipahami sebagai proses transformasi yang bersifat substantif, bukan sekadar jenjang administratif. Tanpa menghasilkan kader yang berpikir kritis, bertindak progresif, dan memiliki keberpihakan terhadap keadilan sosial, maka pelaksanaan PKL berpotensi terjebak dalam seremonial tahunan yang miskin kontribusi strategis.
PMII Genteng memiliki potensi besar untuk menjadi lokomotif perubahan sosial, namun prasyarat utama untuk itu adalah keberanian dalam membangun kaderisasi berbasis kejujuran intelektual, konsistensi praksis gerakan, serta kemampuan merefleksikan kelemahan internal secara terbuka dan konstruktif. (*)
*) Penulis : Ahmad Rizal Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Malang