zmedia

Ketika Beasiswa KIP Diukur dengan Logat British

Hadi Subhan, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
HARIANCENDEKIA, OPINI - Saya mengalami kejadian yang bisa dibilang lucu, sekaligus kejadian ini membawa pikiran masa lampau saya kepada latar belakang pendidikan saya. Sewaktu saya mengikuti seminar dan pesertanya anak-anak penerima beasiswa KIP, narasumbernya adalah seorang profesor dan merupakan seorang atase perguruan tinggi, beliau langsung menunjuk 2 orang dari peserta satu laki-laki dan satu perempuan untuk berkenalan dengan bahasa Arab dan juga Bahasa Inggris.

Kebetulan, 2 orang mahasiswa yang ditunjuk merupakan teman saya, yang laki-laki bisa berkenalan dengan bahasa Arab secara lancar, ketika bagian yang perempuan untuk berkenalan dengan Bahasa Inggris, dia gelagapan dan bingung, karena memang tidak ahli dalam Bahasa Inggris.

Setelahnya, atase tersebut benar-benar mengatakan bahwa nama mahasiswi tersebut harus diingat dan dicatat oleh dekan supaya dicabut hak beasiswanya.

Apakah berlebihan? Menurut saya “iya”, kenapa? Karena kalau ditelisik, mahasiwi tersebut merupakan orang yang berprestasi dalam hal kepenulisan, baik fiksi maupun ilmiah. Jika kita menjeneralisir bahwa penerima KIP harus bisa bahasa Arab dan Inggris, lantas untuk apa pemerintah menerapkan kurikulum Merdeka Belajar Kurikulum Merdeka (MBKM) yang dari namanya saja sudah jelas bahwa semua pelajar bebas belajar sesuai apa yang diminati. Kalau memang bahasa asing sepenting itu, kenapa pemerintah pernah mentiadakan mata pelajaran tersebut? Ketika anak-anak dari hasil kebijakan tersebut tidak bisa Bahasa Inggris, kenapa pemerintah mengolok-olok di depan umum si anak tersebut?

Pada semester sebelumnya, ada kebijakan dari fakultas bahwa diadakan beasiswa kursus Bahasa Inggris ke Pare, tampaknya mengesankan, tapi yang lolos adalah merka yang nilai TOEFL nya tinggi, apakah kaget? Tidak, sepertinya keanehan semacam itu sudah biasa terjadi di Indonesia, kebijakan-kebijakan sesuai selera pejabat itu hal yang lumrah. Maksud saya, ngapain fakultas memberikan program kepada orang-orang yang sudah bisa? Kenapa tidak seleksi dengan wawancara untuk melihat potensi atau orientasi dari mahasiswa. Mereka yang memiliki motivasi tinggi ingin belajar ke luar negeri tapi memiliki kendala bahasa jadi minder mau mengikuti ini, karena sadar diri tidak akan lolos. Kalau output-nya adalah karya tulis Bahasa Inggris, kenapa tidak dipertimbangkan mahasiswa yang memiliki banyak karya tulis tapi belum mumpuni dalam Bahasa Inggris?

Sebagai orang yang berasal dari kawasan marjinal atau terpinggirkan, tentu saja banyak fasilitas umum yang tidak bisa saya rasakan seperti anak-anak atau siswa di daerah-daerah perkotaan. Dari jarak tempuh ke sekolah yang jauh, serta tidak adanya angkutan umum (sampai sekarang). Boro-boro berpikir ke perpustakaan daerah, perpustakaan keliling saja tidak sampai ke daerah saya. Wajar, saya lahir di daerah pegunungan bagian ujung selatan Kabupaten Pekalongan, kalau harus ke perpustakaan daerah, maka memerlukan waktu tempuh satu jam dengan motor. Kalau jalan kaki? Ya bisa 6 jam perjalanan.

Flasback masa-masa ketika saya SD, entah apa yang dipikirkan pada masa itu oleh staf-staf sekolah saya. Murid yang berangkat pagi, justru disuruh nyapu halaman sekolah. Tidak jarang juga saya dititipin kunci sekolah, seperti lagunya Iwan Fals “anak sekecil itu berkelahi dengan sapu”. Pada masa itu, mungkin karena kepolosan saya, ya saya terima-terima saja, tapi setelah remaja, saya baru mikir, hal sederhana terkait kebersihan sekolah saja sudah ada pelanggaran kode etik pekerjaan oleh staf kebersihan. Lalu, bagaimana kabar pembelajarannya?

2009 saya masuk ke SD, pada masa itu saya masih berkesempatan belajar Bahasa Inggris selama satu tahun di sekolah. Setidaknya, saya masih ingat kata seperti apple, rabbit, dan water melon. Setelah kelas dua, ternyata Bahasa Inggris dihapus dari daftar mata pelajaran, itu terjadi sampai saya lulus SD. Lantas, darimana saya dan teman-teman belajar Bahasa Inggris? Tentu saja tidak belajar. Anda tidak usah berpikir “kan ada Hp, buku, kursus, dsb.,” karena tentu saja hal itu tidak akan terpikirkan oleh anak-anak bahkan masyarakat di desa terpencil. Lucunya, ketika saya masuk ke SMP, yang lokasinya hanya bersebelahan desanya, akan tetapi beda kecamatan. Bahasa Inggris malah hadir kembali.

Jangan ditanya saya hafal atau bisa apa kala itu, ketika mau ujian Bahasa Inggris saja, saya hanya diberikan pesan oleh guru saya “tips jitu ujian Bahasa Inggris, jawaban yang biasanya benar adalah jawaban yang paling panjang” ini seperti halnya ketika kita disuruh menghitung kancing sewaktu ujian, beruntung tidak beruntung itu tergantung amal perbuatan. Hal ini menjadi bukti bahwa kurangnya kualitas atau kapabilitas seorang siswa tidak sepenuhnya karena malas, tapi justru lingkungan tempat belajarnya tidak memberikan fasilitas yang cakap (termasuk gurunya).

Saya tidak membela kebodohan atau ketidaktahuan pelajar di Indonesia, saya hanya mengkritisi bahwa ketidaktahuan bisa saja disebabkan oleh kerancuan, kesenjangan, dan inkonsistensi sistem pendidikan yang ada. Apakah kita ingin membentuk generasi cerdas yang merata, atau hanya mengapresiasi mereka yang sudah punya modal sejak awal? (*)

*) Penulis: Hadi Subhan, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
ADVERTISMENTADVERTISMENT