![]() |
M.Randi Basri, Ketua Rayon Abdurrahman Wahid Komisariat Universitas Islam Malang |
Secara ideal, pembentukan kolegium kesehatan seharusnya menjadi ranah para ahli yang memiliki kompetensi dan pengalaman di bidang profesi kesehatan terkait, bukan ditentukan sepihak oleh pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. Kolegium adalah representasi dari keilmuan dan profesionalisme, bukan semata-mata alat kebijakan birokrasi.
Padahal, kolegium harus diisi oleh para pakar dan ahli di bidangnya yang memahami kebutuhan profesi, standar kompetensi, serta perkembangan ilmu pengetahuan di dunia kesehatan. Jika pemerintah mengambil alih penuh pembentukan kolegium, maka ada kekhawatiran bahwa lembaga ini akan menjadi birokratis dan kehilangan esensi keilmuannya. Kebijakan ini membuka peluang intervensi politik atau kepentingan lain yang dapat mencederai independensi profesi kesehatan.
Menurut penulis, dengan dibentuknya kolegium sepenuhnya oleh Kementerian Kesehatan, maka akan muncul ketimpangan dalam pengembangan profesi. Para praktisi dan akademisi di bidang kesehatan tentu lebih memahami kebutuhan kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga kesehatan di lapangan. Mereka yang selama ini aktif dalam pendidikan, penelitian, dan pelayanan seharusnya menjadi pilar utama dalam kolegium, bukan sekadar "diseleksi" atau ditunjuk oleh birokrat yang belum tentu memahami dinamika di bidang masing-masing. Penulis juga menegaskan bahwa orang-orang yang menjadi anggota kolegium adalah pihak-pihak yang akan menentukan arah sistem kesehatan dan mutu pendidikan kesehatan di Indonesia. Maka dari itu, keputusan Kementerian Kesehatan tersebut dianggap cacat. (*)
*) Penulis: M.Randi Basri, Ketua Rayon Abdurrahman Wahid Komisariat Universitas Islam Malang