![]() |
M. Randi Basri, Ketua Rayon Abdurrahman Wahid Komisariat Universitas Islam Malang |
Keputusan dalam revisi UU Kesehatan ini memang memiliki sisi keuntungan, seperti pemberlakuan Surat Tanda Registrasi (STR) seumur hidup. Namun, di sisi lain, kebijakan ini justru menjadi pukulan berat bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Biaya pendidikan profesi yang sangat mahal, serta minimnya kuota penerimaan, membuat banyak lulusan S1 Kesehatan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan jenjang profesi. Alhasil, meskipun memiliki kompetensi, mereka tidak dapat berpraktik sebagai tenaga kesehatan.
Dalam praktiknya, banyak lulusan S1 Kesehatan akhirnya terpaksa bekerja di luar bidang yang mereka pelajari karena keterbatasan akses terhadap pendidikan profesi. Mereka lebih sering berakhir di posisi administratif, atau bahkan terjun ke sektor yang sama sekali tidak relevan dengan latar belakang akademik mereka. Ini berarti kapasitas dan ilmu yang mereka miliki tidak digunakan secara optimal. Potensi besar yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk memperkuat sektor kesehatan justru terabaikan.
Pemerintah pun hingga kini belum memiliki skema karier yang jelas bagi para lulusan S1 Kesehatan non-profesi. Seluruh kebijakan terfokus pada pendidikan profesi, padahal di sisi lain, Indonesia masih mengalami kekurangan tenaga di sektor promotif, preventif, riset kesehatan, dan pengembangan kebijakan publik. Padahal, posisi-posisi tersebut sebenarnya sangat cocok diisi oleh sarjana kesehatan. Negara seakan lupa bahwa sistem kesehatan yang kuat bukan hanya ditentukan oleh jumlah dokter, perawat, atau apoteker, tetapi juga oleh adanya tenaga kesehatan yang mampu membangun sistem, merancang strategi, serta melakukan edukasi dan pencegahan secara masif.
Jika situasi ini terus dibiarkan, maka lulusan S1 Kesehatan hanya akan menjadi korban dari sistem pendidikan yang tidak berpihak. Gelar mereka tidak memiliki daya saing di dunia kerja, dan peluang mereka untuk berkontribusi di sektor kesehatan semakin kecil. Pemerintah perlu segera mengambil langkah strategis, baik dengan membuka jalur karier alternatif bagi lulusan sarjana kesehatan, maupun dengan mengevaluasi kembali implementasi UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 agar lebih inklusif dan berpihak kepada seluruh lapisan masyarakat. Jika tidak, para lulusan ini hanya akan tertahan di ambang pintu, tanpa tahu kapan bisa benar-benar masuk dan berkontribusi nyata di dunia kesehatan Indonesia. (*)
*) Penulis: M.Randi Basri, Ketua Rayon Abdurrahman Wahid Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang