![]() |
(Doc. IG @aliftowew) Tangkapan layar warganet yang membagikan pembuktian bubur ayam apakah lebih enak diaduk atau tidak dengan ilmu fisika dan matematika |
Dalam unggahan Instagram @aliftowew pada Senin (14/7/2025), Alif mengungkapkan hasil eksperimennya dengan pendekatan fisika dan matematika untuk menjawab pertanyaan yang banyak diajukan warganet.
"Bang, yang sebenarnya bubur itu enak diaduk atau enggak diaduk sih? Yuk, kita buktikan secara fisika dan matematika," ujar Alif membuka video penjelasannya.
Ia menggunakan tiga pendekatan ilmiah: konduksi panas, kombinasi rasa, dan entropi informasi untuk menganalisis perbedaan antara bubur ayam yang diaduk dan tidak diaduk.
Alif memulai eksperimennya dengan menggunakan rumus konduktivitas panas untuk mengukur seberapa cepat suhu merata di dalam semangkuk bubur ayam.
"Nih, di sini kita gunakan konduksi panas untuk mencari seberapa cepat suhu merata," jelasnya.
Berdasarkan perhitungan dengan asumsi konduktivitas 0,6, luas permukaan 0,01 meter persegi, dan selisih suhu 15 derajat Celsius, Alif menemukan bahwa bubur yang diaduk menghantarkan panas lebih baik.
"Ternyata kalau diaduk itu 45 joule. Kalau enggak diaduk itu 19 joule. Artinya panas ini berpindah 40 persen lebih banyak kalau diaduk," paparnya.
Menurutnya, suhu bubur yang diaduk akan lebih seragam, sementara bubur yang tidak diaduk cenderung memiliki bagian yang terlalu panas dan bagian lainnya sudah dingin.
Pendekatan kedua menggunakan rumus kombinasi. Alif memisalkan satu mangkuk bubur ayam terdiri dari enam komponen: ayam, sambal, kacang, daun bawang, kerupuk, dan kecap.
"Kemudian yang ke-2 dari kombinasi rasa. Dengan kombinatorika, kita lihat bagaimana kombinasi makanan yang terambil tiap sendoknya," kata Alif.
Dari enam komponen tersebut, ada 63 kemungkinan kombinasi rasa yang berbeda jika tidak diaduk. Sementara jika diaduk, rasa menjadi konsisten di setiap suapan.
"Artinya kalau nggak diaduk ini rasanya tuh seperti kita berpetualangan rasa. Tapi kalau diaduk, rasanya konsisten karena sudah tercampur rata," jelasnya.
Terakhir, ia menggunakan konsep entropi informasi untuk mengukur seberapa dinamis pengalaman rasa yang muncul dari setiap sendok bubur ayam.
"Yang ke-3 entropi informasi, ini untuk melihat seberapa variatif dan dinamisnya rasa di tiap sendoknya," ujar Alif.
Dengan probabilitas masing-masing rasa sebesar 0,2, ia menghitung bahwa bubur tidak diaduk memiliki entropi 2,32 bit, sementara bubur diaduk hanya 0 bit.
"Kita gunain rumus entropi, dapatlah ternyata kalau nggak diaduk itu 2,32 bit. Tapi kalau diaduk ini karena sama semua jadi 0 bit," imbuhnya.
Berdasarkan tiga pendekatan tersebut, Alif menyimpulkan bahwa bubur yang diaduk memiliki keunggulan dari segi kestabilan suhu dan konsistensi rasa. Sebaliknya, bubur yang tidak diaduk menawarkan pengalaman makan yang lebih variatif dan tidak terduga.
"Artinya ya tergantung. Kalau teman-teman sukanya kenyamanan, efisiensi, stabil, dan tidak suka kejutan, lebih baik buburnya diaduk saja. Tapi kalau teman-teman orangnya dinamis, suka kejutan, dan ingin pengalaman rasa yang lebih kompleks, nah, itu jangan diaduk," pungkasnya.
Unggahan ini pun menuai respons positif dari warganet, yang mengapresiasi cara unik Alif dalam membahas topik ringan dengan pendekatan ilmiah. Perdebatan soal bubur ayam mungkin tak pernah selesai, tetapi kini setidaknya ada dasar ilmiahnya. (Red)