![]() |
(Doc. Roominesia) Alyah, mahasiswa Jurusan Perpajakan Universitas Brawijaya |
Hal ini disampaikan oleh Alyah, mahasiswa Jurusan Perpajakan Universitas Brawijaya, dalam podcast Komentator yang tayang di kanal YouTube Roominesia pada Selasa (15/07/2025).
“Sebenarnya yang menanggung pajaknya bukan si UMKM-nya itu, tapi konsumennya. Tapi PR-nya, setelah omzetnya masuk Rp15 juta, otomatis dia harus menaikkan harga. Bisa jadi konsumennya malah lari karena ini enggak murah lagi, ini sudah kena pajak,” ujar Alyah dalam diskusi tersebut.
Alyah juga menyoroti kurangnya pemahaman publik dalam membedakan pajak pusat dan pajak daerah. Menurutnya, pajak restoran adalah jenis pajak daerah yang dikelola oleh pemerintah kota atau kabupaten, berbeda dengan pajak penghasilan (PPh) yang merupakan kewenangan pemerintah pusat.
“Kalau yang Rp500 juta sampai Rp4,8 miliar itu bisa pakai insentif PPh Final 0,5%. Tapi kalau pajak restoran itu beda, itu pajak daerah. Batas omzetnya pun ditentukan daerah masing-masing. Di Malang, per Juli 2025 ini sudah ditetapkan Rp15 juta per bulan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Alyah mengkritisi bahwa kriteria pelaku usaha yang dikenai pajak dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Malang belum dijelaskan secara rinci. Hal ini telah menjadi sorotan DPRD Kota Malang karena dikhawatirkan dapat menyasar pelaku UMKM secara sembarangan.
“Yang dikenai pajak restoran itu seharusnya pelaku usaha yang menyediakan makanan dan minuman untuk dikonsumsi langsung di tempat. Seperti rumah makan, kafe, atau katering. Tapi kalau yang berjualan di pinggir jalan seperti PKL atau warung Madura, harusnya tidak dikenakan—kecuali dia menyediakan tempat duduk dan pelayanan makan di tempat,” tegas Alyah.
Dalam diskusi berdurasi lebih dari satu jam tersebut, Alyah turut menyinggung rendahnya tingkat kepatuhan pajak masyarakat Indonesia. Data Kementerian Keuangan menunjukkan hanya sekitar 1,7 juta wajib pajak aktif dari total 270 juta penduduk.
“Masalah utama bukan cuma soal tarif, tapi kepercayaan masyarakat ke pemerintah. Harusnya pajak itu enggak jadi beban karena hasilnya balik ke rakyat. Tapi kenyataannya masih banyak celah dan ketidakterbukaan,” ungkapnya.
Alyah juga menilai bahwa program edukasi perpajakan dari pemerintah seperti Pajak Bertutur belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara efektif.
“Program sosialisasi sudah ada, tapi belum merata. Bahkan banyak pelaku UMKM masih keliru membedakan antara PPN, PPh, dan pajak restoran. Belum lagi di struk-struk banyak yang nulis jenis pajaknya salah,” tambahnya.
Di akhir diskusi, Alyah menekankan bahwa solusi kompleksitas perpajakan tak cukup hanya dengan memperbaiki aturan, tetapi juga perlu ada kemauan politik dan transparansi pemerintah daerah dalam menyusun Perda yang adil.
“Pemerintah daerah memang diberi kewenangan oleh pusat, tapi bukan berarti bisa asal pukul rata. Kalau tujuannya untuk pendapatan daerah, jangan sampai mengorbankan pelaku kecil yang sedang bertahan hidup,” pungkasnya. (Red)