zmedia

Dosa Ketua Umum: Membaca Kegagalan PC PMII Jember

Mahmud Toheruddin, Kader PMII Rayon Sosial UIJ
HARIANCENDEKIA, OPINI - Di bawah kepemimpinan Fikron Mustofa, kondisi PC PMII Jember, sebagaimana saya amati sebagai kader di lapisan paling bawah struktur, justru lebih sering melahirkan catatan buram daripada capaian yang membanggakan. Hal ini paling jelas terlihat dalam dua sektor paling vital: kaderisasi dan advokasi, yang seharusnya menjadi jantung serta tulang punggung organisasi.

Kaderisasi adalah jantung organisasi. Di situlah seharusnya cabang hadir memberi arah, menciptakan ruang, dan mengawal proses. Namun, yang terjadi di Jember justru sebaliknya. Kaderisasi terasa jalan di tempat, bahkan tidak jarang membiarkan dirinya dipermainkan oleh zaman. Indikasinya jelas terlihat: partisipasi cabang dalam menjawab tantangan-tantangan baru mulai dari pengembangan SDM, literasi digital, hingga fenomena penurunan kuantitas kader nyaris nihil. Padahal semua itu bisa disemai melalui forum-forum kaderisasi di tingkat cabang.

Parahnya lagi, cabang tampak tidak menaruh atensi serius terhadap kondisi lembaga di bawahnya, baik rayon maupun komisariat. Padahal banyak di antaranya tergolong “kembang kempis”, istilah kasarnya hidup segan mati tak mau. Semua kader tahu, ada beberapa lembaga yang nyaris tak berdenyut tetapi tetap dipertahankan, seperti tanaman kering yang enggan ditebang. Dalam situasi semacam ini, cabang seharusnya bersikap tegas: kalau memang pasrah tak bisa mengurai problem, seharusnya berani menurunkan status atau bahkan meleburkannya dengan rayon lain. Namun apa daya, ketegasan itu sama sekali tidak hadir. Akibatnya, lembaga-lembaga problematis dibiarkan menggantung tanpa arah, seperti kapal tua yang hanyut terbawa arus.

Jika menyoal advokasi, keadaannya tak kalah menyedihkan. PC PMII Jember kini seolah mengalami kejumudan berpikir dan semangat juang. Pikiran kritis yang seharusnya menjadi napas gerakan terasa buntu. Dalam banyak persoalan krusial di Jember, cabang lebih sering absen ketimbang hadir. Misalnya pada kasus sengkarut revisi Perda RTRW, tak terdengar suara lantang dari cabang. Begitu juga dalam grusa-grusunya penyusunan RPJMD, kerusakan lingkungan di Puger dan Pakusari, hingga polemik terbaru terkait wilayah pesisir Kepanjen, Gumukmas, sahabat-sahabat cabang seakan “angkat kaki” dari kawalan advokasi yang dulu sempat digerakkan. Entah apa yang melatarbelakangi semua keabsenan itu, saya tidak tahu. Dan maaf, saya bukan ahli nujum, jadi silakan sahabat-sahabat analisis sendiri apa penyebabnya.

Bagian keagamaan? Jujur saja, saya gagal alias bingung untuk menilainya. Kira-kira apa yang sudah dilakukan oleh bidang keagamaan cabang Jember? Tidak ada jejak yang bisa dibaca, tidak ada capaian yang bisa ditunjuk. Mungkin sahabat-sahabat lain bisa membantu menyuplai informasi, sebab lagi-lagi saya kewalahan atau tidak menemukan apa pun yang signifikan.

Untuk KOPRI, saya kira kritik sudah banyak dilayangkan. Kritik itu harus dijadikan cambukan serius, bukan malah dianggap angin lalu. KOPRI Cabang Jember semestinya bisa mengambil peran strategis, tetapi apa daya, peran itu kerap tampak redup, tak lebih dari formalitas belaka.

Pada akhirnya, semua kesemrawutan yang terjadi di tubuh PC PMII Jember tidak bisa dilepaskan dari dosa kepemimpinan ketua umum. Dalam hal ini Fikron Mustofa harus segera bercermin. Jangan sampai kekuasaan yang sudah kedaluwarsa SK yang lapuk alias sudah lama habis tetap dipertahankan demi kenyamanan pribadi. Kekuasaan tidak boleh menjadi bantal empuk yang meninabobokan tanggung jawab. Kalau sudah jelas-jelas gagal, apa salahnya segera menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan ke sahabat-sahabat penerusnya? Alias segeralah Konfercab. Sebelum semuanya terlanjur runyam, sebelum kader-kader se-Jember benar-benar muak pada lembaga cabang.

Kepemimpinan adalah soal tanggung jawab, bukan soal mempertahankan kursi. Maka seruan ini sederhana saja: bertaubatlah, Tum Fikron. Segeralah akhiri masa kepemimpinan yang penuh kecacatan berpikir dan bertindak ini, dan beri kesempatan kepada generasi berikutnya untuk menata ulang cabang. Sebab kalau tidak, sejarah hanya akan mencatat nama Anda sebagai pemimpin yang layak masuk keranjang sampah. (*)

“Seorang pemimpin yang tidak tahan kritik layak masuk keranjang sampah.”
— Soe Hok Gie

*) Penulis: Mahmud Toheruddin, Kader PMII Rayon Sosial UIJ.
**)  Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.
ADVERTISMENTADVERTISMENT