![]() |
Amrozi, Pemimpin Redaksi Harian Cendekia |
Kondisi ini menimbulkan dilema serius, karena identitas yang telah dibangun puluhan tahun lamanya perlahan dirusak oleh penetrasi bisnis hiburan yang kian masif.
Data menunjukkan bahwa di Kota Malang terdapat 27 penyedia jasa karaoke yang resmi terdaftar di Pemerintah Kota. Tidak menutup kemungkinan pada tahun ini bertambah. Jika dibandingkan dengan jumlah perguruan tinggi, perbandingannya mencapai 1:2. Angka tersebut menegaskan betapa tipis jarak antara dunia pendidikan dan dunia hiburan malam.
Persinggungan dua ruang yang sangat berbeda ini tidak bisa dihindarkan, apalagi sebagian lokasi karaoke berdiri tidak jauh dari kampus maupun rumah ibadah. Fenomena tersebut jelas menimbulkan keresahan, karena berpotensi menormalisasi budaya malam di tengah lingkungan mahasiswa, yang seharusnya fokus pada pengembangan intelektual.
Keresahan itu semakin memuncak ketika sebuah klub malam di kawasan Jalan Soekarno-Hatta, yakni Xoan Club, memasang billboard raksasa bertuliskan “Selamat Datang Maba 2025”. Iklan tersebut sontak menuai kritik keras karena meniru sapaan akademik khas universitas, tetapi justru dipakai untuk menjual pesta malam. Penggunaan istilah mahasiswa baru dalam konteks promosi hiburan malam dianggap sebagai pembajakan identitas akademik.
Lebih jauh, hal ini dipandang sebagai pencemaran nilai pendidikan, karena mahasiswa yang baru datang ke Malang seolah diarahkan untuk mengenal dunia malam, bukan budaya akademik yang menjadi ciri khas kota ini.
Fenomena reklame Xoan Club Malang juga menunjukkan lemahnya regulasi dan pengawasan pemerintah. Secara normatif, keberadaan hiburan malam diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Namun, aturan tersebut hanya menekankan aspek perizinan tanpa secara tegas mengatur jarak lokasi hiburan malam dengan lembaga pendidikan maupun rumah ibadah.
Akibatnya, ruang abu-abu dalam regulasi ini dimanfaatkan oleh pengusaha hiburan untuk memperluas jangkauan bisnis mereka. Sementara itu, penegakan larangan bagi pengunjung di bawah usia 17 tahun juga tidak sepenuhnya berjalan. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan bahwa pemerintah kota cenderung menutup mata terhadap dampak sosial yang ditimbulkan.
Tudingan kelalaian pemerintah bukan tanpa alasan. Keberadaan billboard promosi Xoan Club tentu tidak mungkin berdiri tanpa persetujuan dari pihak terkait. Karena itu, muncul anggapan bahwa pemerintah kota membiarkan pendidikan dijual murah demi kepentingan bisnis malam.
Kini publik menunggu langkah nyata dari Pemerintah Kota Malang. Di satu sisi, pemerintah memiliki kewajiban untuk menjaga marwah kota pendidikan yang telah mengangkat nama Malang di kancah nasional. Di sisi lain, mereka juga dituntut untuk tidak tunduk pada kepentingan ekonomi jangka pendek yang justru mengorbankan nilai pendidikan.
Kasus billboard Xoan Club Malang harus dijadikan alarm keras bahwa pendidikan tidak boleh diperjualbelikan untuk kepentingan bisnis hiburan malam. Malang berada di persimpangan sejarah: apakah tetap berdiri sebagai kota pendidikan yang bermartabat, atau tergelincir menjadi kota pesta yang kehilangan identitasnya. (*)
*) Penulis: Amrozi, Pemimpin Redaksi Harian Cendekia.
**) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.