![]() |
Ahmad Fauzi |
Tujuan Efisiensi: Mengurangi Pemborosan atau Realokasi Politik?
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 menargetkan pemotongan belanja operasional kementerian/lembaga hingga Rp256,1 triliun serta transfer ke daerah sebesar Rp50,59 triliun (Kompas, 11 Februari 2025). Pemangkasan ini mencakup pengurangan anggaran perjalanan dinas, honorarium, serta kegiatan seremonial dan studi banding. Presiden Prabowo menyatakan bahwa efisiensi ini bertujuan untuk mendukung program prioritas, termasuk Makan Bergizi Gratis (MBG) dan perbaikan infrastruktur sekolah (Liputan6, 11 Februari 2025).
Namun, di sisi lain, terdapat indikasi bahwa kebijakan ini juga menjadi alat realokasi politik. Pemerintah tetap melakukan pengangkatan staf-staf baru dengan anggaran yang besar, yang menimbulkan pertanyaan: apakah efisiensi ini benar-benar untuk mengurangi pemborosan atau sekadar pergeseran anggaran ke pos-pos lain yang diprioritaskan secara politik?
Resistensi Birokrasi dan Tantangan Implementasi
Sejumlah pejabat pemerintahan mengkritik kebijakan ini dengan alasan bahwa pemotongan anggaran menghambat operasional mereka. Presiden Prabowo sendiri menyinggung keberadaan "raja-raja kecil" di birokrasi yang menentang kebijakan ini (CNN Indonesia, 11 Februari 2025). Hal ini menunjukkan adanya kelompok kepentingan dalam pemerintahan yang selama ini diuntungkan oleh sistem anggaran yang kurang efisien.
Masalah utama dalam implementasi kebijakan ini adalah bahwa pemangkasan anggaran tidak selalu diikuti oleh perencanaan yang matang di level teknis. Akibatnya, muncul keluhan seperti pemadaman AC di kantor-kantor pemerintah serta kekhawatiran pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa sektor, termasuk di Radio Republik Indonesia (RRI) (Liputan6, 11 Februari 2025). Hal ini menunjukkan bahwa di tingkat bawah, terdapat potensi sabotase kebijakan atau interpretasi yang keliru dalam pelaksanaannya.
Narasi Negatif dan Upaya Delegitimasi Kebijakan
Narasi negatif tentang kebijakan efisiensi anggaran berkembang pesat di ruang publik. Isu seperti pemadaman AC dan PHK yang meluas dapat menjadi bentuk perlawanan politik dari pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan ini. Hal ini bisa terjadi akibat kurangnya komunikasi yang efektif dari pemerintah pusat dalam menjelaskan esensi kebijakan efisiensi kepada masyarakat dan birokrasi.
Di sisi lain, terdapat kemungkinan bahwa pihak-pihak tertentu dengan kepentingan politik berusaha mendiskreditkan kebijakan ini agar terlihat tidak efektif. Ini menjadi tantangan politik bagi Presiden Prabowo, yang harus menghadapi perlawanan dari dalam sistem pemerintahan sendiri.
Efisiensi vs. Pemborosan Baru: Inkonistensi Kebijakan?
Sementara kebijakan ini berupaya menghemat Rp306 triliun, muncul kekhawatiran mengenai kebijakan lain yang justru menambah pengeluaran negara. Program Makan Bergizi Gratis, yang direncanakan untuk diperluas hingga mencakup 82,5 juta penerima, diperkirakan membutuhkan tambahan anggaran Rp100 triliun (Reuters, 23 Januari 2025). Jika sumber anggaran tidak dikelola dengan baik, efisiensi yang dilakukan bisa jadi hanya sebatas pergeseran pemborosan dari satu sektor ke sektor lainnya.
Inkonistensi lainnya adalah adanya pengangkatan pejabat dan staf baru yang tetap dilakukan meskipun anggaran kementerian/lembaga dipangkas. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat tarik-ulur kepentingan dalam pengelolaan fiskal negara.
Secara prinsip, kebijakan efisiensi anggaran ini merupakan langkah yang baik dan perlu dilakukan, mengingat banyaknya pemborosan dalam anggaran negara. Namun, keberhasilannya akan sangat tergantung pada bagaimana kebijakan ini diterapkan di lapangan.
Resistensi birokrasi, penyebaran narasi negatif, serta adanya kebijakan lain yang bertentangan dengan prinsip efisiensi menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Prabowo.
Jika pemerintah ingin kebijakan ini berhasil, diperlukan komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat dan birokrasi, mekanisme pengawasan yang ketat, serta konsistensi dalam realokasi anggaran agar tidak terjadi kontradiksi dalam kebijakan fiskal negara.
*) Seluruh isi berita, artikel, opini sepenuhnya tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi.