![]() |
(Doc. Aril/Pewarta) Suasana ruang sidang PTUN Surabaya saat pembacaan putusan perkara UMK oleh majelis hakim di PTUN Surabaya, Rabu, (28/05/2025) |
Dalam sidang yang digelar pada 28 Mei 2025, majelis hakim PTUN Surabaya membacakan putusan bernomor 11/G/2025/PTUN.SBY yang secara tegas mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan FSP KAHUTINDO. Dalam amar putusannya, PTUN menyatakan bahwa SK Gubernur Jawa Timur Nomor 100.3.3.1/775/KPTS/013/2024 tertanggal 18 Desember 2024 bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik serta tidak memenuhi prinsip-prinsip hukum dalam penetapan kebijakan publik.
Putusan tersebut mewajibkan Gubernur Jawa Timur mencabut SK lama dan menerbitkan SK baru yang menetapkan UMK dengan besaran sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, Permenaker Nomor 16 Tahun 2016 dan Instruksi Presiden Prabowo Subianto menjadi rujukan utama, yang menyarankan kenaikan UMK minimal sebesar 6,5% untuk menjamin daya beli dan kesejahteraan pekerja.
“Ini adalah kemenangan penting bagi seluruh buruh, bukan hanya di sektor kehutanan dan industri, tetapi juga bagi semua pekerja di Jawa Timur yang merasakan dampak langsung dari kebijakan upah yang tidak adil,” ujar Didik Junaidi, S.H., CRA, kuasa hukum FSP KAHUTINDO.
Bersama rekannya dari kantor AH LAW OFFICE , Umar Faruq, S.H., M.H., Didik menekankan bahwa perjuangan hukum ini menjadi contoh nyata bahwa suara buruh bisa didengar dan dihormati jika disampaikan melalui jalur konstitusional.
Menurut Didik, keputusan pemerintah yang hanya menaikkan UMK sebesar 5% di tujuh kabupaten/kota di Jawa Timur sama sekali tidak mencerminkan kondisi ekonomi aktual. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa Timur mengalami tren positif, dengan inflasi yang tetap terkendali. Oleh karena itu, keputusan yang menetapkan kenaikan UMK di bawah 6,5% dianggap tidak sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan buruh.
Dalam proses persidangan, tim hukum FSP KAHUTINDO menyampaikan sejumlah bukti dan argumen yang menunjukkan bahwa SK Gubernur tidak memenuhi unsur transparansi dan partisipasi publik. Selain itu, tidak adanya kajian mendalam terhadap dampak sosial dan ekonomi dari penetapan UMK yang rendah menjadi salah satu poin utama yang diperkarakan.
Sementara itu, Umar Faruq menambahkan bahwa putusan PTUN ini harus dijadikan momentum untuk memperkuat posisi buruh dalam perumusan kebijakan.
“Pemerintah harus melihat bahwa buruh bukan sekadar angka statistik, melainkan manusia yang memiliki hak untuk hidup layak. Kemenangan ini bukan hanya soal besaran upah, tapi juga soal martabat pekerja,” tegasnya.
Umar juga mengingatkan bahwa perjuangan belum selesai. Ia meminta seluruh elemen buruh, aktivis, dan masyarakat sipil untuk terus mengawal pelaksanaan putusan ini agar tidak berhenti sebatas di atas kertas. Ia mengkhawatirkan potensi adanya upaya pengabaian dari pihak pemerintah jika tidak ada tekanan publik yang cukup.
Menutup pernyataannya, Didik dan Umar menyerukan kepada seluruh serikat buruh lainnya untuk tidak gentar menghadapi ketidakadilan.
“Bersatulah, konsolidasikan kekuatan, dan gunakan saluran hukum yang tersedia. Perjuangan memang tidak mudah, tetapi bukan berarti mustahil,” ucap Didik penuh semangat.
Kemenangan FSP KAHUTINDO di PTUN Surabaya ini diharapkan menjadi inspirasi dan semangat baru bagi buruh di seluruh Indonesia untuk terus memperjuangkan hak-haknya secara adil, legal, dan bermartabat. (Ril/Red)
***
*) Pewarta: Aril Asfiahani, Mahasiswa Unisma
*) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi.
**) Update Info Terbaru HARIAN CENDEKIA
Saluran WhatsApp: bit.ly/WAhariancendekia
YouTube: bit.ly/YThariancendekia
Instagram: bit.ly/IGhariancendekia
TikTok: bit.ly/TThariancendekia