Angin yang Diam
Angin tak lagi berbisik,
ia memilih diam dalam lengkung senja,
seperti menyimpan rahasia
yang tak sanggup diucapkan dunia.
Dedaunan tak lagi menari,
mereka menunggu,
seperti aku,
menanti bisikanmu yang dulu menggetarkan kalbu.
Sunyi mengendap di sela ranting,
dan waktu berjalan perlahan
seolah ikut menghormati
diam yang kau titipkan pada angin.
Mungkinkah diam ini adalah rindu?
yang tak sempat kau kirim dalam kata,
maka angin pun belajar diam,
agar rindu itu tetap ada.
Malang, 2025
Baju Dalam Cinta
Kau bukan sekadar kain yang membalut,
tapi rahasia yang kupeluk paling dekat,
menyerap peluh dari rindu yang sulit,
menyimpan jejak napas yang hangat.
Di balik lapisan yang tak terlihat,
ada getar yang tak bisa disebut,
cinta tak selalu tampak di mata,
kadang bersembunyi di balik dada.
Kau tahu gelisahku sebelum senja,
kau meraba luka tanpa bertanya,
baju dalam cinta,
kaulah saksi sunyi dari segala rasa.
Dan bila cinta harus ditanggalkan,
kau tetap lekat dalam kenangan,
bukan karena bentuk atau warna,
tapi karena kau pernah jadi bagian jiwa.
Malang, 2025
Senja dalam Pikiran
Senja turun perlahan,
seperti bisikan rindu yang tak sempat terucap.
Langit memerah,
menumpahkan warna yang tak bisa ditafsirkan logika.
Di kepala, bayangan-bayangan berjalan,
siluet masa lalu—luruh dalam cahaya jingga.
Aku duduk di antara diam dan desir angin,
menafsirkan makna waktu yang tak kembali.
Adakah senja tahu,
bahwa dalam redupnya, aku menemukan tenang?
Bukan karena lupa,
tapi karena belajar merelakan yang tak bisa digenggam.
Pikiran menjelajah,
ke tempat-tempat yang tak dikunjungi tubuh.
Di sana, aku bercakap dengan diri sendiri,
tentang harapan, kehilangan, dan jalan pulang.
Senja, tetaplah datang setiap hari,
biar aku punya alasan untuk berhenti sejenak mengendapkan rasa,
dan menjiwai arti dari semua yang fana.
Malang, 2025
*)Ahmad Rizal, kelahiran Republik Pulau Raas Sumenep, Madura. Saat ini sedang menempuh Pendidikan Pascasarjana di Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang, Fakultas Ekonomi Bisnis Islam.