![]() |
Hozinul Asror |
Namun, fakta menyampaikan, sebagaimana dirilis oleh We Are Social, sebuah agensi kreatif global yang berfokus pada media sosial dan pemasaran digital, bahwa per Januari 2025 sebanyak 143 juta penduduk Indonesia sudah menggunakan platform media sosial. Artinya, 50,2 persen penduduk Indonesia sudah memiliki akun media sosial.
Lebih detail, Asosiasi Penyelesaian Jasa Internet Indonesia (APJII) mengidentifikasi bahwa pada tahun 2024 pengguna internet didominasi oleh generasi muda yang produktif, dengan rincian 34,40 persen generasi Z dan 30,62 persen generasi milenial. Angka fantastis ini, jika tidak dibarengi dengan literasi digital yang masif, maka anak muda akan terdiagnosis penyakit berbahaya, yaitu “brain rot” atau pembusukan otak.
Media sosial pada kenyataannya memang memicu pelepasan dopamin yang membuat penggunanya kecanduan. Memang, dengan media sosial generasi muda bisa berjejaring secara lebih komunal, berkarya dengan konten positif, dan terus meningkatkan personal branding mereka, tetapi media sosial kita lebih didominasi konten receh dan postingan tidak berguna, sehingga dapat melemahkan kinerja otak serta menurunkan daya analisis dan kritis generasi Z. Jika demikian, brain rot akan menjadi hantu kesiangan bagi anak muda. Gen Z akan malas berpikir, bernalar, dan menganalisis karena yang dikonsumsi oleh otak sehari-hari adalah hal-hal receh dan tidak bermanfaat yang terus diulang-ulang.
Taufiq Pasiak, seorang ahli neurosains yang juga menjabat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, menjelaskan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh brain rot ini, yaitu otak sulit berkonsentrasi, fokus mudah teralihkan, serta pola hidup yang monoton atau tidak bervariasi. Tontonan video pendek dan tulisan singkat membuat manusia dibanjiri informasi dan pengetahuan yang amat singkat, tanpa kedalaman. Hal ini menyebabkan otak sulit fokus dan berkonsentrasi secara serius. Perhatian manusia menjadi mudah teralihkan dari satu hal ke hal lain. Manusia akan sangat instan dalam segala hal. Berpikir, belajar, mencari solusi, dan berinteraksi dengan sesama tidak lagi bermakna dan berdampak karena sejak awal otaknya sudah dibiasakan pada hal-hal yang singkat dan cepat.
Penelitian yang dilakukan oleh Gloria Mark, seorang psikolog dan profesor informatika di Universitas California Irvine, AS, dalam bukunya yang fenomenal, Attention Span (2023), mengungkapkan bahwa perhatian manusia dalam dua dekade terakhir mengalami penurunan drastis akibat penggunaan teknologi digital yang berlebihan dan tanpa filter. Penelitiannya pada 2004 menyimpulkan bahwa rentang perhatian manusia di layar gawai rata-rata adalah 2,5 menit. Selanjutnya, pada 2012 rentang perhatian manusia turun drastis menjadi 75 detik. Jika otak terus-menerus diberi konsumsi hal-hal receh dan singkat, maka hal tersebut akan menjadi kebiasaan permanen sehingga dalam realitas kehidupan, manusia tidak akan mengalami perkembangan karena kontrol utama dalam menjalani kehidupan adalah otak.
Perhatikan orang-orang sekitar kita saat mengoperasikan gawai. Berapa banyak aplikasi terbaru yang dijalankan dalam waktu bersamaan? Membuka WA, FB, YouTube, dan peramban web dalam waktu kurang dari satu menit merupakan hal yang sudah sangat lumrah. Ini disebut multitasking, yaitu mengerjakan banyak hal dalam waktu bersamaan. Padahal, sifat dasar otak adalah mengerjakan satu hal dalam satu waktu tertentu. Berpindah-pindah fokus otak dengan cepat akan melelahkan kinerjanya. Organ otak yang paling dirugikan dalam hal ini adalah korteks prefrontal di bagian depan otak, yang berfungsi untuk fokus dan konsentrasi dalam berpikir. Terlalu banyak tugas dan informasi yang masuk secara bersamaan akan menyebabkan otak bingung harus memfokuskan pada tugas atau mencerna informasi yang mana. Kondisi ini membuat seseorang mudah sensitif dan mudah emosi, sehingga mempengaruhi kesejahteraan mentalnya.
Dampak negatif lainnya adalah gangguan mental. Generasi Z yang sudah kecanduan media sosial akan malas berinteraksi dengan sesama, kurang bersahabat dengan alam dan dunia luar. Gejala seperti ini akan melemahkan mental mereka karena mereka lebih sering menyendiri sehingga mentalnya tidak terbangun. Terasa terpuruk saat menjadi sorotan perbincangan, tidak berani bicara di depan publik, dan takut menyampaikan opini. Bagaimana mengharapkan Indonesia emas jika generasi penerusnya fobia dalam beropini?
Melihat bahaya tersebut, beberapa negara sudah mengambil langkah mengantisipasinya. Misalnya, Australia pada November 2024 mengesahkan undang-undang pelarangan penggunaan media sosial bagi anak di bawah usia 16 tahun. Lebih awal dari Australia, Tiongkok juga menerapkan pembatasan penggunaan internet melalui perangkat seluler. Pada 2023 pemerintah Tiongkok mengeluarkan peraturan yang melarang anak di bawah usia 18 tahun mengakses internet mulai pukul 22.00 sampai 06.00, kecuali atas izin orang tua. Banyak negara lain seperti AS, Inggris, Korea Selatan, Jepang, dan Singapura telah menerapkan aturan terkait pembatasan akses internet bagi anak muda.
Dari semua itu, pertanyaan dasarnya adalah: bagaimana dengan Indonesia? (Ozi/Red)
***
*) Pewarta: Hozinul Asror, Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
*) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi.
**) Update Info Terbaru HARIAN CENDEKIA
Saluran WhatsApp: bit.ly/WAhariancendekia
YouTube: bit.ly/YThariancendekia
Instagram: bit.ly/IGhariancendekia
TikTok: bit.ly/TThariancendekia