![]() |
(Doc. Istimewa) Hayat Abdurahman salah satu mahasiswa di Malang |
Dalam episode yang berjudul “Bongkar! Budaya Malang Sudah Berubah? Jakartanisasi Kampus dan Pergaulan Mahasiswa”, narasumber Hayat Abdurrahman, seorang mahasiswa di Malang, menilai bahwa perubahan yang terjadi tidak bisa dipandang sebelah mata.
“Bukan lagi kayak mahasiswa zaman dulu yang biasa-biasa saja. Sekarang gaya pergaulan sudah berubah total. Bahasa seperti ‘nongki’, ‘gue’, ‘lu’, jadi hal yang biasa terdengar, bahkan di warung kopi,” kata Hayat.
Menurutnya, gaya bahasa dan pola nongkrong yang dahulu identik dengan diskusi serius kini telah bergeser.
“Dulu kita bisa diskusi panjang di tongkrongan, bahas isu sosial atau teori. Sekarang lebih banyak main game, gibah, atau sekadar ngisi waktu. Ini pergeseran, bukan cuma kebiasaan,” jelasnya.
Hayat juga menyinggung bahwa perubahan ini bukan hanya persoalan gaya, tetapi menyentuh pada aspek identitas dan karakter kota Malang sendiri. Ia menilai bahwa akulturasi budaya mahasiswa luar kota, terutama dari Jabodetabek dan Madura, membawa pengaruh besar dalam dinamika budaya kampus.
“Banyak pendatang, itu bagus untuk pertukaran budaya. Tapi kalau tidak dibarengi penghargaan terhadap budaya lokal, itu akan memperkeruh identitas kota Malang sebagai kota pendidikan,” tegasnya.
Fenomena ini diperparah dengan maraknya konten media sosial dan influencer yang mengangkat gaya hidup hedonis dan dunia malam di Malang. Tak sedikit netizen mulai melabeli Malang dengan sebutan seperti Malang City Hardcore, Senoparty, hingga Las Vegas Jawa Timur.
“Saya tidak sepakat. Malang ini kota pendidikan. Tapi stigma-stigma itu bisa jadi nyata kalau mahasiswa sendiri enggak peduli,” ujar Hayat.
Menurutnya, sebagian mahasiswa memang menjadikan dunia malam sebagai tempat pelarian dari masalah pribadi, namun ia menekankan bahwa ada cara yang lebih sehat dan bermakna.
“Kalau ada masalah, bukan berarti harus lari ke sana. Kita butuh ruang diskusi, sahabat yang bisa diajak ngobrol. Dunia malam bukan solusi, justru sering kali jadi awal masalah baru,” katanya.
Hayat mengajak mahasiswa dari berbagai latar belakang untuk tetap menjunjung nilai-nilai lokal dan menjadikan masa studi di Malang sebagai proses pembangunan diri, bukan sekadar mengikuti tren.
“Modern itu bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Modern itu ketika kita bisa mengelola teknologi, pergaulan, dan tetap berkontribusi. Kita ini mahasiswa, bukan cuma pengguna kota, tapi pembangun masa depannya,” tutupnya.
Tayangan ini menjadi ruang refleksi bersama, bahwa identitas Malang sebagai kota pendidikan seharusnya dijaga, bukan dirubah secara perlahan oleh arus urbanisasi dan gaya hidup yang tak terkontrol. (Red)