![]() |
Ahmad Rizal, Mahasiswa Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang |
Struktur ekonomi nasional masih menunjukkan karakteristik yang sentralistik, dengan dominasi sektor perkotaan, ketergantungan terhadap konsumsi domestik, serta konsentrasi kekayaan dan aset, seperti tanah dan modal, di tangan segelintir pelaku usaha besar. Ketimpangan ini diperparah oleh kebijakan ekonomi yang belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan riil masyarakat berpenghasilan rendah. Program-program bantuan sosial dan pembangunan, meskipun diklaim berpihak kepada rakyat kecil, kerap kali lebih menonjolkan aspek simbolik daripada implementasi substansial.
Selain itu, kebijakan fiskal dan sistem subsidi dinilai belum optimal dalam mendukung kelompok rentan. Sebaliknya, struktur perpajakan dan insentif ekonomi cenderung memberikan keuntungan lebih besar kepada entitas usaha skala besar. Ketimpangan akses terhadap pendidikan, teknologi informasi, dan layanan kesehatan juga turut memperluas disparitas sosial dan ekonomi antarkelompok masyarakat.
Sementara indikator-indikator makroekonomi kerap dijadikan acuan keberhasilan, sebagian besar pelaku ekonomi informal seperti petani, buruh, dan pekerja sektor nonformal masih menghadapi ketidakpastian penghidupan. Dalam kondisi seperti ini, mobilitas sosial menjadi semakin sulit dicapai, dan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan bersifat sangat terbatas bagi kelompok bawah.
Ketimpangan ekonomi tidak terjadi secara alamiah, melainkan merupakan hasil dari struktur dan kebijakan yang belum berkeadilan. Tanpa reformasi ekonomi yang menyeluruh, termasuk redistribusi aset, penataan kebijakan fiskal yang progresif, serta komitmen politik yang kuat terhadap keadilan sosial, ketimpangan ini berpotensi menjadi ancaman serius bagi stabilitas sosial dan keberlanjutan pembangunan nasional. (*)
*) Penulis: Ahmad Rizal, Mahasiswa Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang